Translate

Sabtu, 01 Februari 2014

KISAH ROMLAH RAIHAN (Tukang Bubur Naik Haji) part 9


“Bang, Nafisa rasa sikap abang udah keterlaluan sama Bang Raihan. Gak seharusnya abang selalu memojokan Bang Raihan dengan mengungkit-ungkit masa lalu.” Nafisa pada Oji ketika mereka sedang berdua di dalam kamar.

“Semua yang di dapet Bang Raihan itu udah pantes. Seenaknya aja dia dateng dan pergi di kehidupannya mpok. Eh, sekarang dia bisa milikin mpok lagi.” Oji melampiaskan kekecewaannya.

“Tapi kan kita liat klo sekarang mpok bahagia. Ngapain abang usik lagi?” Nafisa mencoba memberikan pengertian kepada suami tercinta. Namun ternyata Oji terlalu keras kepala untuk menerima itu semua.

“Abang akan berhenti sampai semua yang perih yang dirasakan mpok juga dirasakan Bang Raihan.”

“Sampai mpok dan Bang Raihan bercerai?” Pertanyaan Nafisa mengagetkan Oji. Dia tersadar akan satu hal. Kehancuran yang akan dirasakan oleh Raihan akibat ulahnya juga akan dirasakan oleh Romlah.

***

“Anak-anak papa lagi main apa?” Raihan dan Romlah menghampiri ZeeZee, Irene dan Romi yang tengah asik bermain di ruang keluarga. Romi yang sedang bermain mobil-mobilan berlari kecil menghampiri Raihan.

“Romi mau main sama papa ya? Sini kita main mobil-mobilan bareng.” Romlah bahagia melihat keharmonisan ditengah keluarganya. Sambil tersenyum tipis, diperhatikan ketiga anak dan suami tercinta.

            Tiba-tiba bayangan masa lalunya bersama Raihan muncul. Mulai dari perkenalan yang tidak sengaja akibat ulah Kardun, pendekatan yang intens yang dilakukan oleh Raihan, masa-masa kebahagiaan ketika mereka bersama, terbongkarnya kisah Romlah bersama Kardun namun Raihan tetap menerimanya, rencana pernikahan, sampai pembatalan pernikahan karena orang tua Raihan yang tidak menyetujuinya.

            Kini semua kenangan pahit dan manis itu membuahkan kebahagiaan yang abadi. Yang akan Romlah jaga walau maut taruhannya. Kehadiran Raihan, ZeeZee, Irene dan Romi adalah anugrah yang diberikan Allah yang harus dijaga.

“Lagi pada asik nih.” Oji dan Nafisa ikut bergabung di ruang keluarga. Mereka duduk disamping Romlah.

“Oh iya, mpok. Tadi siang Oji gak liat mpok makan siang. Mpok lupa makan siang ya?” Oji menatap Romlah dan Raihan bergantian.

“Oh itu. Gue makan siang kok. Abang bawa makan siang ke kantor, jadi gue makan di ruangan berdua.”

“Ciyee.. Ciyeee.. So Sweet dong.” ZeeZee yang terkenal jahil mencoba usil kepada kedua orang tuanya. Romlah dan Raihan hanya tersipu malu.

“Papa dan mimi gak ngapa-ngapain kan?” Irene menimpali keusilan ZeeZee. Dikedipkannya satu mata kepada Romlah.

“Ngapain gimana?” Romlah menjawab sambil tersenyum kecil. Jelas dia malu atas apa yang ada dalam pikirannya sendiri.

“Ya gitu deh!” ZeeZee dan Irene menjawab bersamaan sambil tertawa lepas. Diiringi tawa kecil Romlah.

“Keluarga yang aneh.” Raihan menyeletuk dan tersenyum melihat tingkah ketiga bidadarinya. Dia bahagia atas apa yang terjadi dalam hidupnya.

“Iya, aneh. Keluarga aneh dimana sok gak mau menerima wanita karena status janda tapi bisa menerima anak dengan status anak haram.” Perkataan Oji membuat semua orang menghetikan aktivitasnya. Semua mata kini tertuju pada Oji seolah meminta penjelasan atas apa yang dikatakannya.

            Irene yang merasa perkataan Oji ditujukan untuknya mencoba menahan amarah. Dadanya terlihat naik turun dengan nafas bergemuruh. Tanpa terasa air matanya tak mampu lagi ditahan. Mengalir bagai anak sungai dari mata sipitnya. Hal yang sama juga dirasakan oleh Raihan. Lebih dari itu, dia sudah tak mampu menahan semua.

            Irene berlari ke kamar diikuti oleh ZeeZee. ZeeZee yang terus menatap Oji sambil melangkah memperlihatkan amarahnya. Dia jelas kecewa atas apa yang dikatakan Oji. Romlah tak tahu lagi apa yang harus diperbuat.

“Oji, saya gak pernah marah kamu bicara apapun tentang saya. Saya gak pernah dendam kamu mau menyindir apapun tentang saya. Tapi tidak dengan anak saya. Saya tidak akan menerima bila ada orang yang berani menyentuh apalagi menyakitinya. Siapapun orangnya.” Raihan membuka suara ketika hanya tinggal mereka berempat di ruang keluarga.

“Sekarang Oji maunya apa? Saya tidak mau Oji terus-terusan menyakiti anak-anak saya. Klo Oji mau Romlah, silahkan. Tapi jangan pernah sakiti ZeeZee, Irene dan Romi.” Raihan mengakhiri perkataanya dengan melangkah menuju kamar. Dia tidak mau pertengkaran ini terus melebar.

“Ji, mau lo apa sih? Lo mau ngerusak rumah tangga gue? Lo mau gue bercerai dari Raihan?” Romlah meluapkan amarannya pada Oji.

“Ji, kenapa gak lo biarin gue bahagia dengan pilihan gue? Lo yang pernah bilang klo lo bakal ngelakuin apapun asal gue bahagia. Sekarang lo gak harus ngelakuin banyak hal, cukup hargain gue, Raihan dan anak-anak gue. Jangan sentuh apalagi nyakitin mereka. Cuma itu, Ji.” Romlah tak mampu lagi menahan air matanya. Dia menangis dihadapan Oji dan Nafisa.

            Nafisa hanya mampu terteguh melihat yang terjadi. Dia tak tahu harus membela siapa. Namun kali ini jelas, Oji bersalah. Apapun yang terjadi tak mungkin dia membela yang bersalah. Nafisa hanya tertunduk ketika ditatap oleh Romlah yang seakan meminta bantuan. Romlah meninggalkan Nafisa dan Oji yang masih terdiam dengan pikirannya masing-masing.

***

            Ketika memasuki kamar, Romlah mendapati Raihan sedang duduk dipinggir tempat tidur sambil menahan amarahnya. Matanya memerah disertai nafas yang tidak beraturan. Raihan marah besar.

            Dengan langkah pelan, Romlah mendekati Raihan. Digenggamnya tangan Raihan yang sedang mengepal. Kehangatan dan kelembutan tangan Romlah tenyata mampu meredam amarah yang kini dirasakan Raihan. Raihan menoleh dengan tatapan memelas. Memohon bantuan dan maaf atas apa yang terjadi.

“Sayang, maafin semua perkataan Oji ya. Aku tau dia udah keterlaluan banget, tapi kamu jangan masukin kedalam hati ya.” Romlah berbicara perlahan.

“Apa semua yang saya lakuin, semua pengorbanan saya masih kurang untuk menebus semua kesalahan saya sama kalian? Klo masih kurang bilang apa lagi yang harus saya lakukan. Jangan Irene yang kalian korbankan.” Raihan membuang muka. Romlah memegang wajah Raihan untuk dihadapkan dengan wajahnya.

“Gak ada, sayang. Gak ada yang perlu kamu lakuin kecuali menjaga apa yang sudah kita punya saat ini.” Romlah mencoba tersenyum memastikan semua baik-baik saja.

“Romlah, kamu adalah segalanya bagi saya. Saya akan melakukan apapun demi kebahagiaan kamu dan anak-anak. Maaf atas semua yang telah terjadi. Maaf atas semua yang telah saya ucapkan.” Raihan menarik Romlah dalam pelukannya. Menyerah bukan kata yang pantas untuk membalas semua pengorbanan mereka selama ini.

“Aku bahagia bersama kamu. Itu sudah lebih dari cukup untuk menebus semua yang telah terjadi. Kebersamaan kita dan anak-anak takkan mampu digantikan oleh apapun.” Romlah mempererat pelukannya pada Raihan.

***

“Ren, udah dong. Jangan nangis lagi ya. Perkataan Om Oji gak usah lo masukin dalam hati deh. Dia lagi stress kali.” ZeeZee mencoba menenangkan Irene. Diusapnya punggung Irene yang kini sedang tertungkup menutup mukanya dengan guling.

            Irene menangis sejadinya. Dia tidak menyangka masa lalunya akan diungkapkan sedemikian pahit oleh Oji. Masa lalu yang tak pernah dia biarkan orang lain tahu. Masa lalu yang dia kubur dalam-dalam bersama dengan rindu pada papa kandungnya. Masa lalu yang tak pernah mau dia ungkit.

“Kak, salah aku apa? Aku gak pernah minta dilahirin sebagai anak yang gak punya papa. Aku gak pernah mau dilahirin sama mama yang belum pernah menikah. Aku gak pernah memohon untuk dilahirkan sebagai anak yang gak jelas asal usulnya. Aku gak pernah minta semua terjadi sama aku, kak.” Irene menangis dalam pelukan ZeeZee.

“Ren, setiap anak yang lahir ke dunia itu suci. Klo sampai ada anak dengan sebutan anak haram, itu kesalahan kedua orang tuanya. Gak ada satu orangpun yang berhak menjatuhkan kesalahan kepada sang anak. Lo gak salah apa-apa kok. Jadi lo gak usah mikir macem-macem ya. Udah lupain semua yang diomongin Om Oji.” ZeeZee mengusap air mata Irene, mencoba menenangkannya.

***

“Nafisa bener-bener kecewa sama abang. Gak seharusnya abang bilang gitu sama Irene. Dia gak salah apa-apa, bang” Nafisa menahan tangisnya. Dia tak menyangka suami yang dicintainya tega berbuat demikian.

“Bang, abang pernah banyangin gak klo itu terjadi pada diri abang? Klo abang diperlakukan seperti Bang Raihan sama keluarga Nafisa. Gimana perasaan abang? Apa abang akan pertahanin Nafisa seperti Bang Raihan mempertahakan Mpok Romlah? Apa abang tetap mencintai Nafisa sebesar Bang Raihan mencintai Mpok Romlah?”

“Naf, udah ya. Abang lagi gak mau berdebat. Kepala abang pusing.” Oji menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

“Bang, klo abang mengalami hal yang sama dengan Bang Raihan, mungkin abang akan menceraikan Nafisa. Tapi gak dengan bang Raihan.”

            Malam ini mereka tutup dengan air mata dan kekecewaan. Apakah semua akan berakhir baik-baik saja? Atau justru perpisahan jalan terbaik? Stay tune.. *kecupbasah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar