Orang
tua kami meninggal saat saya berusia 6 tahun. Dikarenakan tidak punya sanak
keluarga, saya hanya hidup berdua dengan
kak Dini. Seluruh harta papa diambil oleh rekan bisnisnya. Entah dengan alasan
apa. Saya jelas tidak mengerti bahkan hingga kini. Hidup kami berubah. Untuk
makan saja sulit.
Kak Dini yang saat itu masih kuliah
harus berjuang untuk hidup kami berdua seraya tetap meneruskan kuliahnya. Dia
bekerja banting tulang, siang untuk mencari nafkah dan malam untuk melanjutkan
kuliahnya.
Kak Dini yang dulu begitu perhatian
dan penyayang berubah cuek dan tidak mau tahu. Yang dia tahu hanya bagaimana
cara untuk mendapatkan uang. Dia gak pernah tahu saya dapat nilai berapa di
sekolah, menang lomba apa, bahkan cita-cita saya pun dia gak pernah tahu.
Memang semenjak itu kehidupan kami
berubah. Semua kebutuhan saya dapat terpenuhi. Kak Dini menjadi semakin sibuk.
Untuk berbicara dengan saya pun dia tidak ada waktu. Dia tidak tahu betapa
rindunya saya akan kehadirannya. Kehadiran dalam arti yang sesungguhnya. Bukan
hanya raga.
Kak Dini seolah-olah tidak lagi tahu
arti kasih sayang. Dia menjadi pribadi yang ambisius, semua demi uang, harta,
dan kekayaan. Tanpa dia sadari saya tidak butuh semua itu.
Kemana dia saat saya demam? Kemana
dia saat saya harus mengalami pem-bully-an di sekolah? Kemana dia saat saya
butuh pelukan? Dia tidak ada bahkan tidak pernah ada.
Saya lelah meminta perhatiannya.
Saya cape mengemis kasih sayangnya. Pernahkah dia sadari itu? Saya hanya ingin
perhatian, pelukan hangat atau bahkan hanya kecupan saat hendak pergi tidur.
Sayang, saya tidak pernah mendapatkan dari dia. Dan saya tidak akan memintanya kembali.
Tidak akan.
Semua tidak akan menjadi seperti ini
andai dia adalah kak Dini yang dulu. Kakak saya cuma satu dan itu sudah pergi,
menghilang entah kemana. Saya sudah tidak punya kakak. Kakak saya sudah mati
seiring berjalannya waktu, seiring kepergian jiwa kak Dini.
***
“Saya mengerti perasaanmu. Bukankah
ini saatnya kamu menunjukan pendirianmu.”
“Maksud kamu?”
“Kan
selama ini kak Dini seolah kehilangan kepercayaan akan kasih sayang, kamu
buktikan bahwa kasih sayang mampu mengobati semua lukanya.”
“Dokter
saya lelah. Saya tidak dapat melanjutkan pembicaraan ini.”
“Baiklah.
Lusa saya akan datang lagi untuk melakuakn pemeriksaan rutin, saya harap kita
dapat berbicara kembali.”
Kepergian dokter Riza membuat
perasaan gue semakin kalut. Gue gak ngerti arah pembicaraan kami. Gue gak tau
maksud dari semua yang terjadi. Sebelum masuk kamar, gue sempatkan diri untuk
melihat kak Dini di kamarnya. Tanpa gue sadari, tubuhnya semakin kurus,
wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup. Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi
dengan kak Dini? Gue menangis dalam hening. Gue kalah. Gue menyerah. Gue gak
akan membiarkan sesuatu buruk terjadi dengan kak Dini. Gue peluk kak Dini
perlahan. Dingin. Gemetar. Entah apa yang dirasakannya dalam tidur.
***
“Non, di ruang tamu ada
dokter Riza.”
“Loh bukannya kemarin
dia baru melakukan pemeriksaan ya?”
Gue melesat bagai panah.
Gue mau tau apa yang membawanya kesini diluar waktu pemeriksaan rutin.
“Saya ingin bertemu kak
Dini sebagai teman. Boleh?” jelasnya
“Baiklah. Tentu dokter tahu dimana
kamar kak Dini bukan?”
Selama dokter Riza
menjenguk kak Dini, gue mutusin untuk menelpon Gina. Gue lagi butuh banget
teman cerita.
“Halo, gin. Lo bisa ke rumah gue
gak?”
“Bisa dong sayang. Nanti
sore gue main kesana ya.”
“Thanks ya, gin.”
Tidak terasa sudah hampir 2 jam
dokter Riza di kamar kak Dini. Apa yang mereka bicarakan hingga lama seperti
ini? Dengan muka sedih dokter Riza turun dari lantai atas.
“Ada apa dok? Kok dokter sedih
begitu.”
“Saya harus bicara dengan kamu. Ini
penting.” Muka sedih dan serius dokter Riza membuat gue panik. Apa yang
terjadi?
“Saya
to the poin saja agar kamu mengerti. Kak Dini tadi cerita kepada saya. Inti
dari semua ceritanya, dia tidak kecelakaan.”
“Maksud
dokter? Kakak saya tidak kecelakaan. Bagaimana mungkin?”
“Ya,
kakak kamu tidak kecelakaan. Dia mencoba bunuh diri.”
“Bunuh
diri. Gak mungkin, dok. Untuk apa? Apa alasan kakak saya ingin bunuh diri.”
“Dia
merasa gagal. Dia gagal membahagiakan kamu. Dia gagal sebagai kakak kamu. Dia
dihantui rasa bersalah akan janjinya ke orang tua kalian untuk menjaga dan
membahagiakanmu.”
“Gak.
Gak mungkin.”
Tanpa gue sadari gue lari ke kamar
kak Dini. Gak. Ini gak boleh terjadi. Gue gak mau kehilangan kak Dini.
Sesampainya di kamar, gue kaget bukan main. Kak Dini hendak merobek urat nadi
tangannya.
“Kak Dini jangaaaaannnn... Aku mohon
kak.. Aku gak mau kehilangan kakak.”
Gue peluk kak Dini. Pisau
ditangannya jatuh seketika. Mungkin dia tersentak dengar teriakan gue.
“Irene
minta maaf kak. Irene janji gak akan mengecewakan kakak lagi. Tapi Irene mohon
kak jangan tinggalin Irene. Irene gak punya siapa-siapa kecuali kakak. Jangan
tinggalin Irene, kak. Kakak kan janji gak akan biarin Irene sendiri. Tanpa
kakak semua gak akan pernah baik-baik saja. Irene mohon, kak”
“Irene.”
Baru kali ini gue ngerasa panggilan kak Dini begitu lembut dan menyejukan.
“Irene
maafin kakak. Kakak salah sama kamu. Kakak udah ngecewain kamu.”
“Kak,
kakak harus janji kakak gak akan ninggalin Irene. Janji kak.”
“Kakak
janji sayang.” Kak Dini mengecup kening gue. Seneng banget rasanya.
Gue peluk kak Dini lebih kencang.
Kali ini gue gak mau kehilangan dia. Gak mau lagi. Gue janji bakal ngejagain
kak Dini seperti kak Dini selama ini ngejagain gue.
“Nah klo kayak gini kan enak
ngeliatnya.”
“Dokter Riza.”
“Riza.”
“Aku senang banget kalian bisa kayak
gini lagi.”
“Makasih ya Riz. Ini semua berkat
bantuan kamu.”
“Sama-sama, Din.”
“Makasih ya, dokter Riza.”
“Irene kamu gak inget sama Riza.”
“Enggak, kak.”
“Riza, Ren. Temen sekolah kakak yang
selalu jahil sama kamu klo datang ke rumah.”
“Maksud
kakak, kak Panda. Gak mungkin kak. Kak Panda itu gendut, item, dekil. Tapi klo
dokter Riza.”
“Klo
dokter Riza kenapa?”
Gue
terispu malu akan pertanyaannya.
“Oh
aku tau nih. Pantes aja dokter Riza perhatian sama kak Dini. Dari dulu kan kak
Panda a.k.a dokter Riza suka sama kak Dini. Iya kan?”
Mereka berdua tersipu malu mendengar
ucapan gue. Ah, akhir yang sungguh manis. Gue janji semua akan baik-baik saja.
Sama seperti yang selalu kak Dini bilang. Semua akan berjalan seperti dulu.
Penuh kehangatan, canda tawa, keceriaan. Pokoknya gue gak akan biarin air mata
menari penuh kemenangan lagi. Kali ini dengan penuh kesadaran dari hati, gue
perbaharui diary gue ini. Dengan kalimat akhir yang sama. AKU SAYANG BANGET
SAMA KAK DINI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar