Diary : Semua Karena Cinta Part 1
Tok tok tok... Tok tok
tok... Entah sudah keberapa kali pintu itu diketok. Kalau dia bisa ngomong
mungkin sudah marah-marah kali. Sakit diketok mulu. Si Mbak emang gak
pengertian, gak tahu apa kalau masih ngantuk. Akhirnya dengan terpaksa gue
nyalakan lampu kamar sebagai tanda kalau gue sudah bangun. Dengan malas gue
tarik lagi selimut, hujan diluar membuat gue betah di dalamnya.
“Irene, bangun udah siang. Nanti kamu kesiangan loh..”
suara kakak gue mengelegar seantero rumah.
Dengan berat hati gue bangkit dari kasur.
Ternyata move on dari kasur sama susahnya dengan move on dari mantan *eh.
Setelah semua beres, langkah lunglai membawa gue ke meja makan. Hal yang paling
gue benci. Ya, gue benci kalo harus berhadapan langsung sama kakak gue. Kakak
satu-satunya bahkan orang satu-satunya yang gue miliki. Tapi tetep aja gue gak
suka.
“Hari
ini kamu jangan pulang telat, ya, Ren.” Dia selalu membuka percakapan terlebih
dahulu. “Peduli apa kakak? Emang kalau Irene pulang cepat kakak ada di rumah?”
jawaban sinis selalu meluncur dari mulut gue setiap kali pembicaraan itu
berlangsung. Gue gak tau sejak kapan dan sampai kapan. Entahlah.
“Irene,
kamu itu bisa gak bicara yang sopan?”
“Uang
Irene udah habis. Irene tunggu transferannya.” Dengan segera gue meninggalkan
dia. Malas berurusan lama-lama sama orang itu. Ya, sama kakak gue sendiri,
kakak kandung gue.
Sudah
hampir 10 tahun gue hidup hanya berdua bareng kak Dini. Orang tua kami sudah
lama meninggal. Tapi itu bukan berarti gue dekat dengan dia. Bahkan persamaan
jenis kelamin juga gak mampu membuat gue nyaman di dekatnya.
***
“Ngelamun
mulu lo, kesambet setan loh ntar.” Sapaan Gina membuyarkan lamunan gue.
“Sialan lo. Oh ya hari ini kita jadi ke mall kan? Gue
boring nih dirumah terus.”
“Jadi dong. Emang uang jajan lo udah ditransfer sama kak
Dini.”
“Udahlah. Awas aja klo belum.”
“Kebiasaan lo bisanya ngancem aja”
“Rempong
lo. Udah masuk kelas, yuk. Ntar pak Ridwan marah-marah lagi klo kita telat”
Hari
ini gue memutuskan buat hang out bareng Gina di kafe. Gue males pulang cepat,
toh di rumah gak akan ada siapa.siapa. Tidak terasa jam sudah menunjukan pukul
24.00 WIB. Akhirnya gue sampai di rumah. Ya, seperti tebakan gue, suasana rumah
sudah gelap. Paling kak Dini udah tidur dan tidak menyadari kalau gue belum
pulang. Tiba-tiba lampu di ruang keluarga menyala.
“Kemana
aja kamu seharian baru pulang jam segini?”
“Tumben
belum tidur.”
“Itu
gak menjawab pertanyaan kakak, ya, Irene.”
“Kakak
gak usah sok perhatian, ya. Gak usah sok mau tau kemana aku pergi. Toh selama ini kakak juga gek pernah mau tau
kan?”
“Irene,
please, kita harus bicara.”
“Gak
ada yang perlu dibicarakan, kak. Toh selama ini kakak gak pernah membicarakan
hal apapun dengan aku. Apa kakak pernah minta pendapat aku tentang hidup kita?
Apa kakak pernah peduli aku suka atau gak tentang semua ini? Yang ada dipikiran
kakak tuh cuma uang, uang dan uang. Aku gak pernah ada. Kakak gak pernah
menganggap aku ada.”
“Irene,
kenapa kamu bicara kayak gitu?”
“Kenapa,
kak? Kakak, masih tanya ke aku kenapa? Udah lah kak, aku males ngebahas ini.
Semua gak akan pernah berujung. Yang ada kita hanya bertengkar. Aku capek, kak.
Mau istirahat. Good nite.”
Dengan
sigap gue naik ke kamar. Gue dapat merasakan kekecewaan kak Dini. Tapi malam
ini gue tidak mau berdebat. Badan gue capek, hati gue lelah. Seketika semua
bayangan itu menari dipelupuk mata. Seperti hendak mengejek bahwa apa yang gue
rasakan saat itu hanya kebohongan belaka. Seperti hendak menertawakan kebodohan
yang selama ini gue lakukan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar