Translate

Jumat, 02 Agustus 2013

Diary : Semua Karena Cinta Part 2

“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you.”
Nyanyian itu bergema seisi rumah. Ya hari ini hari ulang tahun aku yang ke 5 tahun. Aku senang sekali. Ada Mama, Papa, kak Dini dan teman-teman sekolahku. Aku bagai putri yang cantik. Mama memberiku gaun yang baru. Kak Dini merias wajah dan rambutku. Katanya “Kamu hari ini menjadi putri yang paling cantik.” Aku suka jadi putri. Aku sayang sekali dengan kak Dini. Dia kakak terhebat.
Teman-temanku telah datang.  Mereka membawa banyak sekali kado. Bungkusnya warna-warni. Indah sekali. Kado paling besar itu dari kak Dini. Dia bilang itu spesial buat aku. Alangkah senangnya aku hari ini.
Papa memanggil badut sulap untuk memeriahkan pesta. Dia mampu menghilangkan benda. Kerennn. Ditengah ruangan, badut memasang balon kuda. Isi balon itu ada permen, coklat dan masih banyak lagi. Kita harus memukulnya agar isinya keluar. Sekuat tenaga aku memukul badan kuda, tapi isinya tidak juga keluar. Teman-teman membantuku. Kami berjuang bersama. Rasa lelah mulai menghinggapi. Kami pasrah. Kuda itu terlalu kuat.
Tiba-tiba ada yg menggendongku. Kak Dini mengangkatku hingga aku setinggi kuda. Kini aku dapat meraihnya. Dengan satu pukulan keras, isi kuda berjatuhan. Semua temanku berebutan. Kulihat senyum kak Dini mengembang. Sungguh aku sangat menyayanginya.
Kak Dini itu pahlawanku. Dia selalu siap membantu kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu ada untukku. Dia segala-galanya. Pernah dia menolongku saat aku tercebur di selokan depan rumah. Saat itu aku sedang naik sepeda. Namun entah bagaimana, sepedaku seperti terbang ke arah selokan.
Ku lihat wajah panik kak Dini saat mengangkatku. Namun, dia tidak marah. Dia justru tersenyum menenangkanku dengan tak lupa memelukku.
“Gak papa, sayang. Semua baik-baik saja. Irene ada dipelukakan kaka sekarang. Irene gak usah takut lagi.”
“Irene takut, kak.” Ucapku dalam tangis dengan tetep memeluk erat kak Dini
“Kan ada kak Dini. Semua akan baik-baik saja, sayang.”
Ya, semua selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini. Kak Dini yang membuat semua baik-baik saja. Dan akan selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini.
***
            Gue tutup buku diari itu. Tak terasa air mata mengalir, bertambah deras saat gue lihat tulisan besar di akhir tulisan itu. AKU SAYANG BANGET SAMA KAK DINI. Ya, tulisan itu gue tulis dengan sangat sadar dari hati. Saat itu. Rekaman tiap rekaman di memori ingatan gue terus berputar. Membuat sebuah film indah. Hingga tiba memori itu muncul. Gue benci memori itu. Memori yang membuat gue mampu melupakan masa-masa indah itu. Seketika kepala gue sakit. Berdenyut tak menentu. Gue lelah. Gue lelah akan semua.
***
            Pagi ini gue terbangun dengan kepala sakit. Mungkin dampak dari tadi malam. Dengan berat hati gue bersiap ke sekolah. Sebenarnya saat ini gue males banget ketemu kak Dini. Sarapan kali ini hening. Bukan hanya kali ini memang. Keheningan selalu menyertai gue tiap berhadapan dengan kak Dini. Namun kali ini beda, ada dingin yang menyusup diantara kami.
            Tanpa kata gue berangkat ke sekolah. Bukan hanya di rumah, di sekolahpun seakan gak ada gairah. Karena bingung dengan sikap gue, Gina mengajak gue ke suatu tempat.
            “Lo ikut gue, yuk.”
            “Kemana? Gue lagi males ngapa-ngapain nih.”
            “Udah pokoknya gue jamin lo bakal fun”
            Karena bingung mau kemana, akhirnya gue ikut Gina. Ternyata dia mengajak gue ke suatu pesta di sebuah villa di tepi pantai. Gue gak tau ini pesta siapa. Ya sudahlah gak usah diambil pusing. Yang penting gue bisa ngilangin suntuk disini.
            Bahkan di pesta ini gue gak ngerasa nyaman. Karena suntuk yang tak kunjung hilang, gue mutusin pergi ke tepi pantai. Angin yang bersemilir pelan mencoba menghibur. Ada rasa damai dan tenang. Gue sangat menikmati malam disini. Tepi entah mengapa ada rasa kwatir yang tiba-tiba menyusup. Tapi segera gue tepis. Gue gak mau rasa damai ini terganggu oleh apapun.
            “Lo, gue cariin kemana-mana taunya disini.”
            “ Sorry ya, Gin. Gue gak nyaman di dalem.”
            “Yaudah gak papa. Gimana lo mau pulang sekarang?”
            “Iya deh. Udah jam 1. Besok kan kita mesti sekolah pagi.”
            “Yaudah, yuk balik”
            Ditengah perjalanan rasa kwatir itu timbul lagi, bahkan lebih besar. Gue gak tau apa yang terjadi. Tapi gue merasa harus segera sampai ke rumah.
            “Gin, lo ngebut dong.”
            “Lo kenapa, Ren?”
            “Gak tau nih. Tiba-tiba perasaan gue gak enak.”
            “Yaudah lo gue temenin ampe rumah ya.”
            Kali ini rumah gue terang benderang. Tapi tak ada satupun orang didalam.
            “Orang rumah lo pada kemana?”
            “Gak tau gue juga.”
            “Mbak... Mbak...”
            Tak juga ada sahutan. Kemana mereka semua? Tiba-tiba gue ngerasa panik. Gue yakin ada yang gak beres. Akhirnya gue menelepon si Mbak.
            “Mbak, kamu dimana sih kok rumah dibiarin kosong gini?”
            “Anu, non. Saya ada di rumah sakit.”
            “Hah? Rumah sakit? Ngapai kamu disitu?”
            “Non Dini kecelakaan.”
            Gue ngerasa disambar petir disiang bolong. Gue emang benci dia, tapi gue juga gak pernah ngebayangin hidup tanpa dia.
            “Gin, lo bisa anter gue ke rumah sakit. Kak Dini kecelakaan.”
            “Astagfirullah. Yuk, gue anter.”
            Sepanjang perjalanan gue kalut. Gue gak tau apa yang harus dilakukan. Gue bingung. Ada rasa gak peduli, ada rasa kasihan, tapi rasa takut kehilangan lebih dari segalanya. Ya Allah selamatkanlah kak Dini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar