Sudah hampir sebulan
kak Dini di rumah sakit. Namun bisa dihitung dengan jari gue datang menjenguk.
Bukan gak peduli, gue gak mau meneteskan air mata di depan dia. Gue gak mau
kalah. Gue gak mau nyerah sama dia.
Hari ini gue berniat menjemput kak Dini. Kata si Mbak,
hari ini kak Dini sudah boleh pulang. Gue mau mengurus semua keperluan di rumah
sakit. Setibanya di kamar kak Dini, gue ngeliat dia lagi ngobrol sama dokter.
“Pagi, Irene”
“Pagi, dok.”
“Kakak
kamu sudah boleh pulang. Tolong perhatikan asupan makanan dan jadwal minum
obatnya, ya.”
“Baik,
dok. Kalau begitu saya ke bagian administrasi dulu.”
Setelah
menyelesaikan semua keperluan, gue kembali ke kamar. Dokter masih berada di
samping kak Dini. Di membantu gue memindahkan kak dini ke kursi roda.
“Saya
akan melakukan pemeriksaan ke rumah 2 hari sekali. Saya harap kamu tidak
keberatan.”
“Oh
tidak, dok. Selama itu buat kebaikan kakak saya, saya tidak keberatan.”
***
Sudah 1 minggu kak Dini pulang ke
rumah. Tapi gue gak pernah mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya. Gue
gak tau kenapa, setau gue yang bermasalah akibat kecelakaan itu hanya kakinya.
Ya, kaki kak Dini menjadi kurang sempurna. Tapi itu bisa diatasi dengan terapi
rutin yang sudah dia lakukan sejak masih di ruma sakit hingga kini. Kata dokter
semua berjalan normal, kak Dini pasti bisa jalan lagi. Lalu apa yang terjadi
dengan dia?
“Non, apa non gak bisa
melakukannya?”
Pertanyaan si Mbak membuyarkan
lamunan gue.
“Melakukan apa, Mbak?”
“Yang di bilang dokter, non. Saya
kasihan dengan non Dini klo terus begini.”
Ya, 2 hari yang lalu saat dokter
Riza melakukan pemeriksaan rutin, dia sempet bicara sama gue. Ada yang salah
dengan psikis kak Dini. Tapi bukan berarti kak Dini gila. Dia mengalami
hantaman psikis yang cukup besar akibat kecelakaan itu. Entah apa yang
dialaminya saat di koma sesaat setelah kecelakaan.
Hari ini dokter Riza datang. Setelah
melakukan pemeriksaan, dia meminta untuk bicara lagi sama gue.
“Kalau boleh saya tahu, apa yang
terjadi dengan kakak kamu?”
“Maksud dokter?” Gue gak ngerti akan
pertanyaanya.
“Apa yang terjadi sebelum
kecelakaan?”
“Saya gak bertemu kak Dini sejak
pagi. Setau saya, dia kerja seperti biasa.”
“Dia tidak mau bicara sedikitpun. Tapi
dia selalu bergumam menyebut namamu. Apa ada masalah?”
“Saya rasa dokter tidak perlu tahu akan
hal itu.”
“Saya tidak akan merasa perlu tahu klo
bukan karena saya ingin membantu kakak kamu.”
Keheningan terjadi diantara kami. Apa
maunya dokter ini?
“Apa kamu tidak bisa memaafkan semua?”
“Maksud dokter? Saya benar-benar tidak
mengerti arah pembicaraan ini?”
“Apa memang sudah tidak ada lagi rasa sayang
untuk kakakmu?”
“Saya tidak mengerti.”
“Saya mengenal kakakmu jauh sebelum
kecelakaan ini terjadi. Saya tahu apa yang dia rasakan. Walau saya tidak tahu
pasti apa yang terjadi.”
“Dokter sebenarnya siapa?”
“Saya Riza, sahabat kakak kamu.”
“Oh, pantas dokter begitu perhatian
dengan kakak saya.”
“Tidak inginkah kamu bercerita?”
“Apa yang perlu saya ceritakan. Toh
antara saya dan kak Dini tidak terjadi apapun.”
“Lalu kenapa hubungan kamu tidak baik
dengan dia? Saya tahu betapa sayangnya dia sama kamu. Saya juga tahu perang
dingin yang terjadi selama ini antara kalian. Yang saya tidak tahu penyebab ini
semua. Kakak kamu selalu bercerita tentang kamu yang lucu, menggemaskan dan
menyenangkan. Tapi dia juga selalu bercerita masalah diantara kalian. Saya bingung
mengapa ini bisa terjadi?”
“Untuk apa anda bingung? Toh ini gak ada
hubungannya dengan anda.”
“Apa kamu tidak ingin masalah ini
selesai? Kalau kamu berkenan, saya bersedia membantu.”
“Tidak ada yang mampu mengubah keadaan
ini. Semua sudah terlanjur berjalan seperti ini. Biarkan saja seperti ini.”
“Apa kamu tidak merasa kasian dengan
kondisi kakakmu?”
“Jadi menurut kamu ini semua salahku?”
“Bukan. Tentu bukan. Tapi kamu jawaban
akan semua masalah ini.”
“Saya membencinya. Sangat membencinya.”
“Kenapa?”
“Dia sudah merusak hidup saya. Dia sudah
merenggut kebahagiaan kita. Sejak mama papa meninggal semua berubah”
***
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar