Translate

Jumat, 02 Agustus 2013

Diary : Semua Karena Cinta Part 4

             Orang tua kami meninggal saat saya berusia 6 tahun. Dikarenakan tidak punya sanak keluarga, saya hanya  hidup berdua dengan kak Dini. Seluruh harta papa diambil oleh rekan bisnisnya. Entah dengan alasan apa. Saya jelas tidak mengerti bahkan hingga kini. Hidup kami berubah. Untuk makan saja sulit.
            Kak Dini yang saat itu masih kuliah harus berjuang untuk hidup kami berdua seraya tetap meneruskan kuliahnya. Dia bekerja banting tulang, siang untuk mencari nafkah dan malam untuk melanjutkan kuliahnya.
            Kak Dini yang dulu begitu perhatian dan penyayang berubah cuek dan tidak mau tahu. Yang dia tahu hanya bagaimana cara untuk mendapatkan uang. Dia gak pernah tahu saya dapat nilai berapa di sekolah, menang lomba apa, bahkan cita-cita saya pun dia gak pernah tahu.
            Memang semenjak itu kehidupan kami berubah. Semua kebutuhan saya dapat terpenuhi. Kak Dini menjadi semakin sibuk. Untuk berbicara dengan saya pun dia tidak ada waktu. Dia tidak tahu betapa rindunya saya akan kehadirannya. Kehadiran dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya raga.
            Kak Dini seolah-olah tidak lagi tahu arti kasih sayang. Dia menjadi pribadi yang ambisius, semua demi uang, harta, dan kekayaan. Tanpa dia sadari saya tidak butuh semua itu.
            Kemana dia saat saya demam? Kemana dia saat saya harus mengalami pem-bully-an di sekolah? Kemana dia saat saya butuh pelukan? Dia tidak ada bahkan tidak pernah ada.
            Saya lelah meminta perhatiannya. Saya cape mengemis kasih sayangnya. Pernahkah dia sadari itu? Saya hanya ingin perhatian, pelukan hangat atau bahkan hanya kecupan saat hendak pergi tidur. Sayang, saya tidak pernah mendapatkan dari dia. Dan saya tidak akan memintanya kembali. Tidak akan.
            Semua tidak akan menjadi seperti ini andai dia adalah kak Dini yang dulu. Kakak saya cuma satu dan itu sudah pergi, menghilang entah kemana. Saya sudah tidak punya kakak. Kakak saya sudah mati seiring berjalannya waktu, seiring kepergian jiwa kak Dini.
***
            “Saya mengerti perasaanmu. Bukankah ini saatnya kamu menunjukan pendirianmu.”
            “Maksud kamu?”
              “Kan selama ini kak Dini seolah kehilangan kepercayaan akan kasih sayang, kamu buktikan bahwa kasih sayang mampu mengobati semua lukanya.”
            “Dokter saya lelah. Saya tidak dapat melanjutkan pembicaraan ini.”
            “Baiklah. Lusa saya akan datang lagi untuk melakuakn pemeriksaan rutin, saya harap kita dapat berbicara kembali.”
            Kepergian dokter Riza membuat perasaan gue semakin kalut. Gue gak ngerti arah pembicaraan kami. Gue gak tau maksud dari semua yang terjadi. Sebelum masuk kamar, gue sempatkan diri untuk melihat kak Dini di kamarnya. Tanpa gue sadari, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup. Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi dengan kak Dini? Gue menangis dalam hening. Gue kalah. Gue menyerah. Gue gak akan membiarkan sesuatu buruk terjadi dengan kak Dini. Gue peluk kak Dini perlahan. Dingin. Gemetar. Entah apa yang dirasakannya dalam tidur.
***
                        “Non, di ruang tamu ada dokter Riza.”
                        “Loh bukannya kemarin dia baru melakukan pemeriksaan ya?”
                        Gue melesat bagai panah. Gue mau tau apa yang membawanya kesini diluar waktu pemeriksaan rutin.
                        “Saya ingin bertemu kak Dini sebagai teman. Boleh?” jelasnya
            “Baiklah. Tentu dokter tahu dimana kamar kak Dini bukan?”
                        Selama dokter Riza menjenguk kak Dini, gue mutusin untuk menelpon Gina. Gue lagi butuh banget teman cerita.
            “Halo, gin. Lo bisa ke rumah gue gak?”
                        “Bisa dong sayang. Nanti sore gue main kesana ya.”
                        “Thanks ya, gin.”
            Tidak terasa sudah hampir 2 jam dokter Riza di kamar kak Dini. Apa yang mereka bicarakan hingga lama seperti ini? Dengan muka sedih dokter Riza turun dari lantai atas.
            “Ada apa dok? Kok dokter sedih begitu.”
            “Saya harus bicara dengan kamu. Ini penting.” Muka sedih dan serius dokter Riza membuat gue panik. Apa yang terjadi?
            “Saya to the poin saja agar kamu mengerti. Kak Dini tadi cerita kepada saya. Inti dari semua ceritanya, dia tidak kecelakaan.”  
            “Maksud dokter? Kakak saya tidak kecelakaan. Bagaimana mungkin?”
            “Ya, kakak kamu tidak kecelakaan. Dia mencoba bunuh diri.”
            “Bunuh diri. Gak mungkin, dok. Untuk apa? Apa alasan kakak saya ingin bunuh diri.”
            “Dia merasa gagal. Dia gagal membahagiakan kamu. Dia gagal sebagai kakak kamu. Dia dihantui rasa bersalah akan janjinya ke orang tua kalian untuk menjaga dan membahagiakanmu.”
            “Gak. Gak mungkin.”
            Tanpa gue sadari gue lari ke kamar kak Dini. Gak. Ini gak boleh terjadi. Gue gak mau kehilangan kak Dini. Sesampainya di kamar, gue kaget bukan main. Kak Dini hendak merobek urat nadi tangannya.
            “Kak Dini jangaaaaannnn... Aku mohon kak.. Aku gak mau kehilangan kakak.”
            Gue peluk kak Dini. Pisau ditangannya jatuh seketika. Mungkin dia tersentak dengar teriakan gue.
            “Irene minta maaf kak. Irene janji gak akan mengecewakan kakak lagi. Tapi Irene mohon kak jangan tinggalin Irene. Irene gak punya siapa-siapa kecuali kakak. Jangan tinggalin Irene, kak. Kakak kan janji gak akan biarin Irene sendiri. Tanpa kakak semua gak akan pernah baik-baik saja. Irene mohon, kak”
            “Irene.” Baru kali ini gue ngerasa panggilan kak Dini begitu lembut dan menyejukan.
            “Irene maafin kakak. Kakak salah sama kamu. Kakak udah ngecewain kamu.”
            “Kak, kakak harus janji kakak gak akan ninggalin Irene. Janji kak.”
            “Kakak janji sayang.” Kak Dini mengecup kening gue. Seneng banget rasanya.
            Gue peluk kak Dini lebih kencang. Kali ini gue gak mau kehilangan dia. Gak mau lagi. Gue janji bakal ngejagain kak Dini seperti kak Dini selama ini ngejagain gue.
            “Nah klo kayak gini kan enak ngeliatnya.”
            “Dokter Riza.”
            “Riza.”
            “Aku senang banget kalian bisa kayak gini lagi.”
            “Makasih ya Riz. Ini semua berkat bantuan kamu.”
            “Sama-sama, Din.”
            “Makasih ya, dokter Riza.”
            “Irene kamu gak inget sama Riza.”
            “Enggak, kak.”
            “Riza, Ren. Temen sekolah kakak yang selalu jahil sama kamu klo datang ke rumah.”
            “Maksud kakak, kak Panda. Gak mungkin kak. Kak Panda itu gendut, item, dekil. Tapi klo dokter Riza.”
            “Klo dokter Riza kenapa?”
            Gue terispu malu akan pertanyaannya.
            “Oh aku tau nih. Pantes aja dokter Riza perhatian sama kak Dini. Dari dulu kan kak Panda a.k.a dokter Riza suka sama kak Dini. Iya kan?”
            Mereka berdua tersipu malu mendengar ucapan gue. Ah, akhir yang sungguh manis. Gue janji semua akan baik-baik saja. Sama seperti yang selalu kak Dini bilang. Semua akan berjalan seperti dulu. Penuh kehangatan, canda tawa, keceriaan. Pokoknya gue gak akan biarin air mata menari penuh kemenangan lagi. Kali ini dengan penuh kesadaran dari hati, gue perbaharui diary gue ini. Dengan kalimat akhir yang sama. AKU SAYANG BANGET SAMA KAK DINI.

Diary : Semua Karena Cinta Part 3

             Sudah hampir sebulan kak Dini di rumah sakit. Namun bisa dihitung dengan jari gue datang menjenguk. Bukan gak peduli, gue gak mau meneteskan air mata di depan dia. Gue gak mau kalah. Gue gak mau nyerah sama dia.
            Hari ini gue berniat menjemput kak Dini. Kata si Mbak, hari ini kak Dini sudah boleh pulang. Gue mau mengurus semua keperluan di rumah sakit. Setibanya di kamar kak Dini, gue ngeliat dia lagi ngobrol sama dokter.
            “Pagi, Irene”
            “Pagi, dok.”
“Kakak kamu sudah boleh pulang. Tolong perhatikan asupan makanan dan jadwal minum obatnya, ya.”
“Baik, dok. Kalau begitu saya ke bagian administrasi dulu.”
Setelah menyelesaikan semua keperluan, gue kembali ke kamar. Dokter masih berada di samping kak Dini. Di membantu gue memindahkan kak dini ke kursi roda.
“Saya akan melakukan pemeriksaan ke rumah 2 hari sekali. Saya harap kamu tidak keberatan.”
“Oh tidak, dok. Selama itu buat kebaikan kakak saya, saya tidak keberatan.”
***
            Sudah 1 minggu kak Dini pulang ke rumah. Tapi gue gak pernah mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya. Gue gak tau kenapa, setau gue yang bermasalah akibat kecelakaan itu hanya kakinya. Ya, kaki kak Dini menjadi kurang sempurna. Tapi itu bisa diatasi dengan terapi rutin yang sudah dia lakukan sejak masih di ruma sakit hingga kini. Kata dokter semua berjalan normal, kak Dini pasti bisa jalan lagi. Lalu apa yang terjadi dengan dia?
            “Non, apa non gak bisa melakukannya?”
            Pertanyaan si Mbak membuyarkan lamunan gue.
            “Melakukan apa, Mbak?”
            “Yang di bilang dokter, non. Saya kasihan dengan non Dini klo terus begini.”
            Ya, 2 hari yang lalu saat dokter Riza melakukan pemeriksaan rutin, dia sempet bicara sama gue. Ada yang salah dengan psikis kak Dini. Tapi bukan berarti kak Dini gila. Dia mengalami hantaman psikis yang cukup besar akibat kecelakaan itu. Entah apa yang dialaminya saat di koma sesaat setelah kecelakaan.
            Hari ini dokter Riza datang. Setelah melakukan pemeriksaan, dia meminta untuk bicara lagi sama gue.
            “Kalau boleh saya tahu, apa yang terjadi dengan kakak kamu?”
            “Maksud dokter?” Gue gak ngerti akan pertanyaanya.
            “Apa yang terjadi sebelum kecelakaan?”
            “Saya gak bertemu kak Dini sejak pagi. Setau saya, dia kerja seperti biasa.”
“Dia tidak mau bicara sedikitpun. Tapi dia selalu bergumam menyebut namamu. Apa ada masalah?”
“Saya rasa dokter tidak perlu tahu akan hal itu.”
“Saya tidak akan merasa perlu tahu klo bukan karena saya ingin membantu kakak kamu.”
Keheningan terjadi diantara kami. Apa maunya dokter ini?
“Apa kamu tidak bisa memaafkan semua?”
“Maksud dokter? Saya benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini?”
“Apa memang sudah tidak ada lagi rasa sayang untuk kakakmu?”
“Saya tidak mengerti.”
“Saya mengenal kakakmu jauh sebelum kecelakaan ini terjadi. Saya tahu apa yang dia rasakan. Walau saya tidak tahu pasti apa yang terjadi.”
“Dokter sebenarnya siapa?”
“Saya Riza, sahabat kakak kamu.”
“Oh, pantas dokter begitu perhatian dengan kakak saya.”
“Tidak inginkah kamu bercerita?”
“Apa yang perlu saya ceritakan. Toh antara saya dan kak Dini tidak terjadi apapun.”
“Lalu kenapa hubungan kamu tidak baik dengan dia? Saya tahu betapa sayangnya dia sama kamu. Saya juga tahu perang dingin yang terjadi selama ini antara kalian. Yang saya tidak tahu penyebab ini semua. Kakak kamu selalu bercerita tentang kamu yang lucu, menggemaskan dan menyenangkan. Tapi dia juga selalu bercerita masalah diantara kalian. Saya bingung mengapa ini bisa terjadi?”
“Untuk apa anda bingung? Toh ini gak ada hubungannya dengan anda.”
“Apa kamu tidak ingin masalah ini selesai? Kalau kamu berkenan, saya bersedia membantu.”
“Tidak ada yang mampu mengubah keadaan ini. Semua sudah terlanjur berjalan seperti ini. Biarkan saja seperti ini.”
“Apa kamu tidak merasa kasian dengan kondisi kakakmu?”
“Jadi menurut kamu ini semua salahku?”
“Bukan. Tentu bukan. Tapi kamu jawaban akan semua masalah ini.”
“Saya membencinya. Sangat membencinya.”
“Kenapa?”
“Dia sudah merusak hidup saya. Dia sudah merenggut kebahagiaan kita. Sejak mama papa meninggal semua berubah”
***

Diary : Semua Karena Cinta Part 2

“Happy birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you.”
Nyanyian itu bergema seisi rumah. Ya hari ini hari ulang tahun aku yang ke 5 tahun. Aku senang sekali. Ada Mama, Papa, kak Dini dan teman-teman sekolahku. Aku bagai putri yang cantik. Mama memberiku gaun yang baru. Kak Dini merias wajah dan rambutku. Katanya “Kamu hari ini menjadi putri yang paling cantik.” Aku suka jadi putri. Aku sayang sekali dengan kak Dini. Dia kakak terhebat.
Teman-temanku telah datang.  Mereka membawa banyak sekali kado. Bungkusnya warna-warni. Indah sekali. Kado paling besar itu dari kak Dini. Dia bilang itu spesial buat aku. Alangkah senangnya aku hari ini.
Papa memanggil badut sulap untuk memeriahkan pesta. Dia mampu menghilangkan benda. Kerennn. Ditengah ruangan, badut memasang balon kuda. Isi balon itu ada permen, coklat dan masih banyak lagi. Kita harus memukulnya agar isinya keluar. Sekuat tenaga aku memukul badan kuda, tapi isinya tidak juga keluar. Teman-teman membantuku. Kami berjuang bersama. Rasa lelah mulai menghinggapi. Kami pasrah. Kuda itu terlalu kuat.
Tiba-tiba ada yg menggendongku. Kak Dini mengangkatku hingga aku setinggi kuda. Kini aku dapat meraihnya. Dengan satu pukulan keras, isi kuda berjatuhan. Semua temanku berebutan. Kulihat senyum kak Dini mengembang. Sungguh aku sangat menyayanginya.
Kak Dini itu pahlawanku. Dia selalu siap membantu kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu ada untukku. Dia segala-galanya. Pernah dia menolongku saat aku tercebur di selokan depan rumah. Saat itu aku sedang naik sepeda. Namun entah bagaimana, sepedaku seperti terbang ke arah selokan.
Ku lihat wajah panik kak Dini saat mengangkatku. Namun, dia tidak marah. Dia justru tersenyum menenangkanku dengan tak lupa memelukku.
“Gak papa, sayang. Semua baik-baik saja. Irene ada dipelukakan kaka sekarang. Irene gak usah takut lagi.”
“Irene takut, kak.” Ucapku dalam tangis dengan tetep memeluk erat kak Dini
“Kan ada kak Dini. Semua akan baik-baik saja, sayang.”
Ya, semua selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini. Kak Dini yang membuat semua baik-baik saja. Dan akan selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini.
***
            Gue tutup buku diari itu. Tak terasa air mata mengalir, bertambah deras saat gue lihat tulisan besar di akhir tulisan itu. AKU SAYANG BANGET SAMA KAK DINI. Ya, tulisan itu gue tulis dengan sangat sadar dari hati. Saat itu. Rekaman tiap rekaman di memori ingatan gue terus berputar. Membuat sebuah film indah. Hingga tiba memori itu muncul. Gue benci memori itu. Memori yang membuat gue mampu melupakan masa-masa indah itu. Seketika kepala gue sakit. Berdenyut tak menentu. Gue lelah. Gue lelah akan semua.
***
            Pagi ini gue terbangun dengan kepala sakit. Mungkin dampak dari tadi malam. Dengan berat hati gue bersiap ke sekolah. Sebenarnya saat ini gue males banget ketemu kak Dini. Sarapan kali ini hening. Bukan hanya kali ini memang. Keheningan selalu menyertai gue tiap berhadapan dengan kak Dini. Namun kali ini beda, ada dingin yang menyusup diantara kami.
            Tanpa kata gue berangkat ke sekolah. Bukan hanya di rumah, di sekolahpun seakan gak ada gairah. Karena bingung dengan sikap gue, Gina mengajak gue ke suatu tempat.
            “Lo ikut gue, yuk.”
            “Kemana? Gue lagi males ngapa-ngapain nih.”
            “Udah pokoknya gue jamin lo bakal fun”
            Karena bingung mau kemana, akhirnya gue ikut Gina. Ternyata dia mengajak gue ke suatu pesta di sebuah villa di tepi pantai. Gue gak tau ini pesta siapa. Ya sudahlah gak usah diambil pusing. Yang penting gue bisa ngilangin suntuk disini.
            Bahkan di pesta ini gue gak ngerasa nyaman. Karena suntuk yang tak kunjung hilang, gue mutusin pergi ke tepi pantai. Angin yang bersemilir pelan mencoba menghibur. Ada rasa damai dan tenang. Gue sangat menikmati malam disini. Tepi entah mengapa ada rasa kwatir yang tiba-tiba menyusup. Tapi segera gue tepis. Gue gak mau rasa damai ini terganggu oleh apapun.
            “Lo, gue cariin kemana-mana taunya disini.”
            “ Sorry ya, Gin. Gue gak nyaman di dalem.”
            “Yaudah gak papa. Gimana lo mau pulang sekarang?”
            “Iya deh. Udah jam 1. Besok kan kita mesti sekolah pagi.”
            “Yaudah, yuk balik”
            Ditengah perjalanan rasa kwatir itu timbul lagi, bahkan lebih besar. Gue gak tau apa yang terjadi. Tapi gue merasa harus segera sampai ke rumah.
            “Gin, lo ngebut dong.”
            “Lo kenapa, Ren?”
            “Gak tau nih. Tiba-tiba perasaan gue gak enak.”
            “Yaudah lo gue temenin ampe rumah ya.”
            Kali ini rumah gue terang benderang. Tapi tak ada satupun orang didalam.
            “Orang rumah lo pada kemana?”
            “Gak tau gue juga.”
            “Mbak... Mbak...”
            Tak juga ada sahutan. Kemana mereka semua? Tiba-tiba gue ngerasa panik. Gue yakin ada yang gak beres. Akhirnya gue menelepon si Mbak.
            “Mbak, kamu dimana sih kok rumah dibiarin kosong gini?”
            “Anu, non. Saya ada di rumah sakit.”
            “Hah? Rumah sakit? Ngapai kamu disitu?”
            “Non Dini kecelakaan.”
            Gue ngerasa disambar petir disiang bolong. Gue emang benci dia, tapi gue juga gak pernah ngebayangin hidup tanpa dia.
            “Gin, lo bisa anter gue ke rumah sakit. Kak Dini kecelakaan.”
            “Astagfirullah. Yuk, gue anter.”
            Sepanjang perjalanan gue kalut. Gue gak tau apa yang harus dilakukan. Gue bingung. Ada rasa gak peduli, ada rasa kasihan, tapi rasa takut kehilangan lebih dari segalanya. Ya Allah selamatkanlah kak Dini.
***