Translate
Jumat, 02 Agustus 2013
Diary : Semua Karena Cinta Part 3
Sudah hampir sebulan
kak Dini di rumah sakit. Namun bisa dihitung dengan jari gue datang menjenguk.
Bukan gak peduli, gue gak mau meneteskan air mata di depan dia. Gue gak mau
kalah. Gue gak mau nyerah sama dia.
Hari ini gue berniat menjemput kak Dini. Kata si Mbak,
hari ini kak Dini sudah boleh pulang. Gue mau mengurus semua keperluan di rumah
sakit. Setibanya di kamar kak Dini, gue ngeliat dia lagi ngobrol sama dokter.
“Pagi, Irene”
“Pagi, dok.”
“Kakak
kamu sudah boleh pulang. Tolong perhatikan asupan makanan dan jadwal minum
obatnya, ya.”
“Baik,
dok. Kalau begitu saya ke bagian administrasi dulu.”
Setelah
menyelesaikan semua keperluan, gue kembali ke kamar. Dokter masih berada di
samping kak Dini. Di membantu gue memindahkan kak dini ke kursi roda.
“Saya
akan melakukan pemeriksaan ke rumah 2 hari sekali. Saya harap kamu tidak
keberatan.”
“Oh
tidak, dok. Selama itu buat kebaikan kakak saya, saya tidak keberatan.”
***
Sudah 1 minggu kak Dini pulang ke
rumah. Tapi gue gak pernah mendengar sepatah katapun keluar dari mulutnya. Gue
gak tau kenapa, setau gue yang bermasalah akibat kecelakaan itu hanya kakinya.
Ya, kaki kak Dini menjadi kurang sempurna. Tapi itu bisa diatasi dengan terapi
rutin yang sudah dia lakukan sejak masih di ruma sakit hingga kini. Kata dokter
semua berjalan normal, kak Dini pasti bisa jalan lagi. Lalu apa yang terjadi
dengan dia?
“Non, apa non gak bisa
melakukannya?”
Pertanyaan si Mbak membuyarkan
lamunan gue.
“Melakukan apa, Mbak?”
“Yang di bilang dokter, non. Saya
kasihan dengan non Dini klo terus begini.”
Ya, 2 hari yang lalu saat dokter
Riza melakukan pemeriksaan rutin, dia sempet bicara sama gue. Ada yang salah
dengan psikis kak Dini. Tapi bukan berarti kak Dini gila. Dia mengalami
hantaman psikis yang cukup besar akibat kecelakaan itu. Entah apa yang
dialaminya saat di koma sesaat setelah kecelakaan.
Hari ini dokter Riza datang. Setelah
melakukan pemeriksaan, dia meminta untuk bicara lagi sama gue.
“Kalau boleh saya tahu, apa yang
terjadi dengan kakak kamu?”
“Maksud dokter?” Gue gak ngerti akan
pertanyaanya.
“Apa yang terjadi sebelum
kecelakaan?”
“Saya gak bertemu kak Dini sejak
pagi. Setau saya, dia kerja seperti biasa.”
“Dia tidak mau bicara sedikitpun. Tapi
dia selalu bergumam menyebut namamu. Apa ada masalah?”
“Saya rasa dokter tidak perlu tahu akan
hal itu.”
“Saya tidak akan merasa perlu tahu klo
bukan karena saya ingin membantu kakak kamu.”
Keheningan terjadi diantara kami. Apa
maunya dokter ini?
“Apa kamu tidak bisa memaafkan semua?”
“Maksud dokter? Saya benar-benar tidak
mengerti arah pembicaraan ini?”
“Apa memang sudah tidak ada lagi rasa sayang
untuk kakakmu?”
“Saya tidak mengerti.”
“Saya mengenal kakakmu jauh sebelum
kecelakaan ini terjadi. Saya tahu apa yang dia rasakan. Walau saya tidak tahu
pasti apa yang terjadi.”
“Dokter sebenarnya siapa?”
“Saya Riza, sahabat kakak kamu.”
“Oh, pantas dokter begitu perhatian
dengan kakak saya.”
“Tidak inginkah kamu bercerita?”
“Apa yang perlu saya ceritakan. Toh
antara saya dan kak Dini tidak terjadi apapun.”
“Lalu kenapa hubungan kamu tidak baik
dengan dia? Saya tahu betapa sayangnya dia sama kamu. Saya juga tahu perang
dingin yang terjadi selama ini antara kalian. Yang saya tidak tahu penyebab ini
semua. Kakak kamu selalu bercerita tentang kamu yang lucu, menggemaskan dan
menyenangkan. Tapi dia juga selalu bercerita masalah diantara kalian. Saya bingung
mengapa ini bisa terjadi?”
“Untuk apa anda bingung? Toh ini gak ada
hubungannya dengan anda.”
“Apa kamu tidak ingin masalah ini
selesai? Kalau kamu berkenan, saya bersedia membantu.”
“Tidak ada yang mampu mengubah keadaan
ini. Semua sudah terlanjur berjalan seperti ini. Biarkan saja seperti ini.”
“Apa kamu tidak merasa kasian dengan
kondisi kakakmu?”
“Jadi menurut kamu ini semua salahku?”
“Bukan. Tentu bukan. Tapi kamu jawaban
akan semua masalah ini.”
“Saya membencinya. Sangat membencinya.”
“Kenapa?”
“Dia sudah merusak hidup saya. Dia sudah
merenggut kebahagiaan kita. Sejak mama papa meninggal semua berubah”
***
***
Diary : Semua Karena Cinta Part 2
“Happy
birthday to you. Happy birthday to you. Happy birthday, happy birthday, happy
birthday to you.”
Nyanyian
itu bergema seisi rumah. Ya hari ini hari ulang tahun aku yang ke 5 tahun. Aku
senang sekali. Ada Mama, Papa, kak Dini dan teman-teman sekolahku. Aku bagai
putri yang cantik. Mama memberiku gaun yang baru. Kak Dini merias wajah dan
rambutku. Katanya “Kamu hari ini menjadi putri yang paling cantik.” Aku suka
jadi putri. Aku sayang sekali dengan kak Dini. Dia kakak terhebat.
Teman-temanku
telah datang. Mereka membawa banyak sekali
kado. Bungkusnya warna-warni. Indah sekali. Kado paling besar itu dari kak
Dini. Dia bilang itu spesial buat aku. Alangkah senangnya aku hari ini.
Papa
memanggil badut sulap untuk memeriahkan pesta. Dia mampu menghilangkan benda.
Kerennn. Ditengah ruangan, badut memasang balon kuda. Isi balon itu ada permen,
coklat dan masih banyak lagi. Kita harus memukulnya agar isinya keluar. Sekuat
tenaga aku memukul badan kuda, tapi isinya tidak juga keluar. Teman-teman
membantuku. Kami berjuang bersama. Rasa lelah mulai menghinggapi. Kami pasrah.
Kuda itu terlalu kuat.
Tiba-tiba
ada yg menggendongku. Kak Dini mengangkatku hingga aku setinggi kuda. Kini aku
dapat meraihnya. Dengan satu pukulan keras, isi kuda berjatuhan. Semua temanku
berebutan. Kulihat senyum kak Dini mengembang. Sungguh aku sangat
menyayanginya.
Kak
Dini itu pahlawanku. Dia selalu siap membantu kapanpun aku membutuhkannya. Dia
selalu ada untukku. Dia segala-galanya. Pernah dia menolongku saat aku tercebur
di selokan depan rumah. Saat itu aku sedang naik sepeda. Namun entah bagaimana,
sepedaku seperti terbang ke arah selokan.
Ku
lihat wajah panik kak Dini saat mengangkatku. Namun, dia tidak marah. Dia
justru tersenyum menenangkanku dengan tak lupa memelukku.
“Gak papa, sayang. Semua baik-baik saja.
Irene ada dipelukakan kaka sekarang. Irene gak usah takut lagi.”
“Irene takut, kak.” Ucapku dalam tangis
dengan tetep memeluk erat kak Dini
“Kan ada kak Dini. Semua akan baik-baik
saja, sayang.”
Ya,
semua selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini. Kak Dini yang membuat semua
baik-baik saja. Dan akan selalu baik-baik saja kalau ada kak Dini.
***
Gue tutup buku diari itu. Tak terasa
air mata mengalir, bertambah deras saat gue lihat tulisan besar di akhir
tulisan itu. AKU SAYANG BANGET SAMA KAK DINI. Ya, tulisan itu gue tulis dengan
sangat sadar dari hati. Saat itu. Rekaman tiap rekaman di memori ingatan gue
terus berputar. Membuat sebuah film indah. Hingga tiba memori itu muncul. Gue
benci memori itu. Memori yang membuat gue mampu melupakan masa-masa indah itu.
Seketika kepala gue sakit. Berdenyut tak menentu. Gue lelah. Gue lelah akan
semua.
***
Pagi ini gue terbangun dengan kepala
sakit. Mungkin dampak dari tadi malam. Dengan berat hati gue bersiap ke
sekolah. Sebenarnya saat ini gue males banget ketemu kak Dini. Sarapan kali ini
hening. Bukan hanya kali ini memang. Keheningan selalu menyertai gue tiap
berhadapan dengan kak Dini. Namun kali ini beda, ada dingin yang menyusup
diantara kami.
Tanpa kata gue berangkat ke sekolah.
Bukan hanya di rumah, di sekolahpun seakan gak ada gairah. Karena bingung
dengan sikap gue, Gina mengajak gue ke suatu tempat.
“Lo ikut gue, yuk.”
“Kemana? Gue lagi males
ngapa-ngapain nih.”
“Udah pokoknya gue jamin lo bakal
fun”
Karena bingung mau kemana, akhirnya
gue ikut Gina. Ternyata dia mengajak gue ke suatu pesta di sebuah villa di tepi
pantai. Gue gak tau ini pesta siapa. Ya sudahlah gak usah diambil pusing. Yang
penting gue bisa ngilangin suntuk disini.
Bahkan di pesta ini gue gak ngerasa
nyaman. Karena suntuk yang tak kunjung hilang, gue mutusin pergi ke tepi
pantai. Angin yang bersemilir pelan mencoba menghibur. Ada rasa damai dan
tenang. Gue sangat menikmati malam disini. Tepi entah mengapa ada rasa kwatir
yang tiba-tiba menyusup. Tapi segera gue tepis. Gue gak mau rasa damai ini
terganggu oleh apapun.
“Lo, gue cariin kemana-mana taunya
disini.”
“ Sorry ya, Gin. Gue gak nyaman di
dalem.”
“Yaudah gak papa. Gimana lo mau
pulang sekarang?”
“Iya deh. Udah jam 1. Besok kan kita
mesti sekolah pagi.”
“Yaudah, yuk balik”
Ditengah perjalanan rasa kwatir itu
timbul lagi, bahkan lebih besar. Gue gak tau apa yang terjadi. Tapi gue merasa
harus segera sampai ke rumah.
“Gin, lo ngebut dong.”
“Lo kenapa, Ren?”
“Gak tau nih. Tiba-tiba perasaan gue
gak enak.”
“Yaudah lo gue temenin ampe rumah
ya.”
Kali ini rumah gue terang benderang.
Tapi tak ada satupun orang didalam.
“Orang rumah lo pada kemana?”
“Gak tau gue juga.”
“Mbak... Mbak...”
Tak juga ada sahutan. Kemana mereka
semua? Tiba-tiba gue ngerasa panik. Gue yakin ada yang gak beres. Akhirnya gue
menelepon si Mbak.
“Mbak, kamu dimana sih kok rumah
dibiarin kosong gini?”
“Anu, non. Saya ada di rumah sakit.”
“Hah? Rumah sakit? Ngapai kamu
disitu?”
“Non Dini kecelakaan.”
Gue ngerasa disambar petir disiang
bolong. Gue emang benci dia, tapi gue juga gak pernah ngebayangin hidup tanpa
dia.
“Gin, lo bisa anter gue ke rumah
sakit. Kak Dini kecelakaan.”
“Astagfirullah. Yuk, gue anter.”
Sepanjang perjalanan gue kalut. Gue
gak tau apa yang harus dilakukan. Gue bingung. Ada rasa gak peduli, ada rasa
kasihan, tapi rasa takut kehilangan lebih dari segalanya. Ya Allah
selamatkanlah kak Dini.
***
Langganan:
Postingan (Atom)