KISAH ROMLAH RAIHAN (Tukang Bubur Naik Haji) part 6
Waktu seakan berhenti menunggu jawaban dari Raihan. Tak ada
perubahan reaksi sedikitpun yang diperlihatkan lelaki asal negeri Jiran ini. Tatapannya
masih focus kepada Romlah. Seakan dia ingin melampiaskan segala kerinduan yang
dipendam walau hanya dengan tatapan mata. Romlah menunggu dengan cemas. Dia sudah
tidak sabar mendengar perkataan Raihan. Walau itu dapat membuatnya jatuh ke
lubang kehancuran.
Kedua gadis yang menyaksikan adegan itu hanya terdiam. Mereka
tidak tahu harus berbuat apa. Pandangan mereka tertuju pada dua orang yang
saling mencintai namun tidak dapat saling memiliki. Ada doa yang mereka
panjatkan agar yang terbaik yang didapat keduannya.
“Raihan, aku mohon
jangan diem aja. Beri aku kepastian sekarang. Jangan kamu siksa aku dengan
cinta yang tak kunjung kamu perjuangkan. Aku lelah, Raihan. Lelah.” Kini Romlah
seakan memohon. Pandangan matanya memelas.
“Romlah, saya…” Raihan
ragu meneruskan perkataannya. Kini dia menunduk, tak berani memandang mata
Romlah yang memohon. Dia tak sanggup mengatakan semuanya. Namun dia tahu semua
harus segera diakhiri dengan kejelasan.
“Romlah, saya minta
maaf atas semua yang telah saya lakukan. Atas semua luka yang saya berikan”
Raihan melangkah maju mendekati Romlah. Dipegang tangan Romlah, tangan yang
dulu selalu dia genggam dengan erat. Tangan yang selalu memberikan kehangatan
disetiap pelukannya. Tangan yang kini berubah menjadi dingin. Baru Raihan
menyadari kalau Romlah lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu. Ternyata bukan
hanya dia yang harus kehilangan banyak bobot tubuh karena perpisahan itu.
“Romlah, kamu tau semua
yang sudah saya lakukan untuk kamu, untuk kita. Semua perjuangan yang sudah
saya berikan untuk hubungan kita. Namun kita juga harus menyadari klo akhirnya
semua di tangan Allah. Kita sudah berusaha dengan segala daya. Namun bila
takdir menentukan lain, saya hanya berdoa yang terbaik untukmu.” Romlah menatap
nanar mendengar perkataan Raihan.
“Aku gak butuh itu
semua, Raihan. Yang aku butuhin sekarang kata-kata kamu bahwa kamu sudah tidak
mencintai aku. Bahwa kamu sudah melupakan aku. Itu lebih dari cukup.” Dieratkan
pegangan tangan Raihan oleh Romlah. Sekarang mereka berjarak hanya sejengkal. Deru
nafas Romlah dan detak jantung Raihan dapat didengar oleh keduanya.
Raihan menarik nafas panjang. Dia mencoba mengerti dengan
sikap Romlah yang memuntahkan amarah. Dengan segala yang telah terjadi, wajar
bila Romlah melakukan itu semua. Raihan menyusun kata terbaik untuk mengakhiri
kisah ini. Agar tak ada lagi luka dan penyesalan yang dirasakan.
“Romlah, mungkin saya
bisa bilang klo saya sudah tidak mencintaimu. Bahwa saya sudah melupakanmu. Bahkan
klo kamu minta saya juga bilang bahwa saya sangat membencimu, itu dapat saya
lakukan. Namun apa itu yang terbaik? Saya tak mau ada sesal dikemudian hari
karena mengatakan yang tidak saya rasakan. Romlah, saya tau kita terluka atas
semua ini dan saya tak mau luka ini lebih dalam lagi. Romlah, saya sangat
mencintai kamu. Saya tidak bisa melupakan kamu. Namun saya ingin yang terbaik
untuk kamu.” Didekatkannya tubuh Romlah. Pelukan ini mungkin akan menjadi
pelukan terakhir yang dapat mereka rasakan.
Romlah
terisak dalam pelukan Raihan. Dia meluapkan segala kekesalannya dengan memukul
Raihan pelan. Namun kehangatan pelukan Raihan membuatnya jatuh tak berdaya. Kini
pelukan mereka semakin erat. Raihan membelai rambut Romlah perlahan. Seperti dulu.
Namun diwarnai dengan isak tangis.
“Klo lo emang cinta ama
Romlah perjuangin dia sebelum lo menyesal karena gak bisa milikin dia. Klo dia
udah jadi milik gue, jangankan menyentuhnya. Untuk bertemu aja gue gak akan
ngijinin.” Suara itu mengagetkan semua penghuni ruangan. Fahmi tiba-tiba muncul
dengan senyum mengembang.
“Fahmi” Romlah yang panic
karena kedatangan Fahmi melepaskan dengan kasar pelukan Raihan. Raihan yang
masih terteguh, kaget dengan tindakan Romlah. Namun dia tak dapat berbuat
apa-apa. Romlah berjalan mendekati Fahmi. Dia minta maaf atas apa yang telah
dia lakukan.
“Kamu gak perlu minta
maaf kok. Semua yang telah kamu lakukan itu benar. Kamu berhak menentukan
kebahagiaan kamu. Kamu berhak mencari kepastian akan masa depan kamu.” Fahmi
tersenyum memandang Romlah yang masih panic.
“Raihan, ini kesempatan
terakhir lo. Klo lo tetep dengan ucapan lo tadi, maka satu langkah lo keluar
dari rumah ini lo gak akan pernah bisa ngedapetin Romlah lagi.” Fahmi serius
dengan ucapannya. Dilangkahkan kaki mendekati Raihan.
“Lo udah ngelakuin
semuanya, kan? Kenapa langkah terakhir gak lo selesaiin? Lo bukan bencong, kan?”
“Fahmi, saya sangat
menghargai kamu. Terima kasih sudah membantu Romlah disaat saya tidak ada. Saya
sudah hutang budi padamu. Tak mungkin saya menyakiti perasaan kalian lagi.”
Tiba-tiba seluruh ruangan hening. Tak ada yang mampu
bereaksi sedikitpun. Semua mata tertuju pada Raihan. Wajah sendungnya seketika
tersenyum. Senyum lebar yang sudah lama tidak dia perlihatkan kepada orang
lain. Raihan melangkah mendekati Romlah. Tangannya menggenggam tanga Romlah
erat dan kini terasa hangat.
“Besok saya akan
membawa kedua orang tua saya untuk melamar kamu. Saya harap kamu tidak menolak.
Apa kamu keberatan dengan keputusan saya?”
Romlah tersenyum bimbang. Dia masih tidak menyadari apa
yang terjadi. Dia merasa sekarang benar-benar berada di alam mimpi. Namun kehangatan
tangan Raihan membuatnya percaya, semua yang terjadi memang kenyataan. Romlah
memasang senyum termanisnya. Senyum yang selalu dirindukan Raihan. Senyum yang
memang tercipta hanya untuk Raihan. Kini pelukan mereka tanpa jarak, mereka
yakin ini bukanlah pelukan terakhir. Namun akan menjadi awal pelukan hangat
lainnya. Yang halal tentunya.
***
Setelah semua yang terjadi, Romlah mencoba memberitahu
Oji atas pembatalan pernikahan dengan Fahmi dan rencana pernikahan dengan
Raihan yang akan dilaksanakan sesuai rencana awal Romlah dan Fahmi. Dia sangat
hati-hati karena tahu Oji akan bereaksi keras atas keputusannya. Oji yang sudah
terlanjur membenci Raihan tentu tidak akan menyetujui begitu saja. Harus ada
penjelasan yang meyakinkan bahwa semua yang sudah terjadi tidak akan diulangi
lagi oleh Raihan.
“Assalamuallaikum, Ji. Gimana
kabar lo di Aussie?”
“Baik, Mpok. Nafisa
juga baik. Dia kangen banget sama Mpok.”
“Gue juga kangen sama
kalian. Gimana tensis lo udah kelar?”
“Udah Mpok gak usah
mikirin Oji. Mending Mpok focus sama persiapan pernikahan Mpok sama bang Fahmi.”
Romlah terdiam sejenak. Ini kesempatannya untuk
mengatakan kepada Oji. Namun dia belum siap menghadapi kemarahan Oji.
“Oh iya, Ji. Ada yang
mau gue omongin ama lo. Tapi lo jangan marah dulu ya.”
“Ada apaan sih mpok? Kayaknya
penting amat. Serius begini ngomongnya.”
“Gue gak jadi nikah
sama Fahmi.”
“Loh kenapa mpok? Bang
Fahmi ngelakuin apa? Emangnya ada apaan?” Oji terdengar panic. Dia bingung atas
apa yang terjadi dengan kakak semata wayangnya ini. Betapa Oji hanya ingin
kakaknya bahagia.
“Gak. Fahmi gak
ngelakuin apa-apa kok. Cuma gue sama dia mutusin untuk batalin pernikahan kita.”
“Ya tapi kenapa mpok? Mpok
jangan buat Oji panic dong.”
“Lo tenang aja, Ji. Gue
jadi nikah kok”
“Lah kan pernikahan
mpok batal. Emang mpok mau nikah sama siapa?”
Romlah menarik nafas panjang. Dia mempersiapkan segala
kemungkinan yang akan terjadi. Dengan hati-hati Romlah berbicara kata demi
kata.
“Gue mau nikah ama
Raihan”
“Apa? Raihan?” Oji
kaget bukan kepalang. Suara kerasnya menggambarkan betapa dia marah atas apa
yang diucapkan oleh kakaknya.
“Gimana mungkin mpok
bisa nikah ama Raihan? Raihan itu udah menghilang. Ngapain mpok masih
mengharapkan dia kembali? Udahlah mpok.”
“Gue, Fahmi dan Raihan
sudah membicarakan ini. Dan ini keputusan kami bersama. Lagian..”
“Udah mpok, Oji gak mau
denger. Pokoknya Oji gak setuju klo mpok nikah ama Raihan. Klo mpok tetep
nekat, jangan harap mpok bakal ketemu Oji ama Nafisa lagi.”
Belum sempet Romlah menjawab, Oji sudah menutup telpon
dengan keras. Apa yang harus dilakukan Romlah? Haruskah dia mempertahankan
hubungannya dengan Raihan? Atau mengikuti keinginan adik tercinta? Stay tune..
*kecupbasah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar