Translate
Sabtu, 17 Mei 2014
Jumat, 04 April 2014
KISAH ROMLAH RAIHAN (Tukang Bubur Naik Haji) part 14
“Aku mau cerai, bang.” Romlah menatap lurus. Meski terdengar mantap, Romlah tak mampu menatap wajah Raihan saat mengatakan keinginannya.
“Apa??” Raihan memandang heran. Dia tak percaya dengan kata yang baru saja diucapkan Romlah. Tanpa sepatah katapun Raihan meninggalkan Romlah dengan membanting pintu kamar.
Oji dan Nafisa yang sedang berbincang di ruang tengah terkejut mendengar suara gadung dari kamar Romlah. Mereka hanya memandang heran pada Raihan yang keluar dengan wajah penuh emosi.
“Ada apa, bang?” Oji memandang panic pada Raihan
“Mpok kamu, Ji.” Raihan berusaha menenangkan diri.
“Mpok kenapa, bang?”
“Mpok kamu minta cerai.” Mendengar perkataan Raihan, Oji tak habis pikir.
“Emang Abang sama Mpok kenapa? Kok sampe sejauh itu.”
“Romlah menuduh saya selingkuh. Padahal jelas-jelas saya di kantor sepanjang hari dan selalu pulang tepat waktu. Saya tidak mengerti apa alasan dia menuduh saya seperti itu.” Raihan terdengar menarik nafas panjang.
“Astagfirullah, yaudah abang tenang dulu ya. Jangan ikut kebawa emosi. Pikirin baik-baik. Biar Oji bantu ngomong sama si Mpok ya.” Oji melangkah menuju kamar Romlah. Nafisa hanya mampu memandang Oji dan Raihan. Dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.
***
Oji membuka kamar Romlah perlahan. Dilihatnya Romlah masih terisak di pinggir tempat tidur.
“Mpookk..” Oji melangkah pelan. Romlah yang menyadari kedatangan Oji memandang kosong. Oji yang tak tega melihat keadaan Romlah mendekat dan memeluk Romlah.
Dalam pelukan Oji, Romlah semakin terisak. Air matanya semakin deras. Semua Romlah tumpahkan di bahu sang adik.
“Gue takut kehilangan Raihan, Ji. Gue gak tau apa yang harus gue lakuin.”
“Mpok, mending lo pikirin lagi deh semua yang lo bilang ke Bang Raihan. Lo gak boleh gegabah, Mpok. Klo gak lo bakal nyesel seumur hidup lo.”
Tangis Romlah semakin kuat. Namun tiba-tiba, Romlah melepaskan pelukannya pada Oji. Tangannya beralih pada perutnya sendiri. Wajah Romlah berubah meringis menahan sakit.
“Ji, perut gue.” Oji panic melihat perubahan pada Romlah.
“Mpok, lo kenapa? Bang Raihan… Bang Raihan…” Oji teriak memanggil Raihan.
“Udah, Ji. Gue gak papa kok. Palingan karena dari kemaren lupa makan.” Romlah terus memegangi perutnya
Oji yang tidak peduli dengan perkataan Romlah terus memanggil Raihan. Raihan yang terkejut mendengar panggilan Oji langsung berlari menuju kamar diikuti Nafisa.
“Kenapa, Ji?”
“Mpok, bang.”
“Sayang, kamu kenapa?” Raihan mendekati Romlah.
“Perut aku sakit.” Romlah masih menangis sambil memegangi perutnya.
“Mpok itu kakinya kenapa?” Nafisa yang berdiri tepat dibelakang Raihan memandang ke lantai. Seketika semua orang memandang kaki Romlah. Terlihat darah segar mengalir di kaki Romlah
“Astafirullah, sayang kamu kenapa?” Raihan memeluk Romlah dengan panic.
“Oji, tolong siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.” Romlah terlihat semakin lemas. Tak terdengar lagi suara tangisnya. Hanya sesekali dia mengerang kecil karena kesakitan.
Dalam keadaan panic, Oji berusaha mempercepat laju mobil. Romlah yang duduk dibelakang bersama Raihan berkali-kali menggumam kesakitan.
“Bang, perut aku sakit banget.”
“Iya, sayang. Kamu sabarnya, sebentar lagi kita sampai.” Raihan terus mencoba menenangkan Romlah yang berada dalam dekapannya.
“Oji, bisa lebih kenceng lagi!” Ucapan Raihan terdengar sangat panic.
“Iya, bang. Sabar ya, Mpok. Jalanannya macet.”
“Jakarta!” Raihan mengumpat sendiri
***
Setibanya di rumah sakit, Romlah langsung dibawa ke Ruang Unit Gawat Darurat. Raihan, Oji dan Nafisa yang menunggu di depan ruangan cemas sambil terus berdoa. Raihan tak henti-hentinya bolak-balik di depan pintu sambil sesekali mengintip ke dalam. Hampir setengah jam berlalu tapi tak ada dokter ataupun suster yang keluar untuk memberitahukan keadaan Romlah.
Tak lama kemudian, suster keluar ruangan untuk memberitahu bahwa dokter ingin bertemu dengan Raihan. Raihan bergegas menemui dokter sedangkan Oji dan Nafisa mengurus Romlah yang pindah ke ruang rawat inap.
“Selamat siang, dok.” Raihan dengan sopan masuk dan duduk tepat di depan sang dokter.
“Baik, pak. Saya ingin membicarakan keadaan Ibu Romlah.”
“Ada apa dengan istri saya, dok?”
Setelah mendengarkan semua perkataan dokter, Raihan langsung menuju apotik untuk menebus obat yang harus langsung dikonsumsi Romlah. Raihan berjalan sambil terus bernyanyi hingga tak menyadari ada yang memanggil.
“Papaaa….” Irene dan ZeeZee memanggil Raihan dengan serentak namun yang dipanggil tak kunjung menoleh.
“Papa..” ZeeZee memukul bahu Raihan yang kini ada di depannya.
“Yaampun ZeeZee, Irene, ngagetin aja.”
“Lagian papa dipanggilin daritadi gak denger. Mimi gimana pap?” ZeeZee memandang serius Raihan.
“Sekarang udah di ruang inap. Yuk sekalian kita liat!”
“Emang papa darimana?”
“Papa abis nebus obat, Ren.”
Sesampainya di ruang inap Romlah, Romlah yang sudah sadar sedang berbincang dengan Oji dan Nafisa. Melihat kedatangan Raihan, ZeeZee dan Irene, mendadak Romlah menangis.
“Sini, nak. Mimi mau dipeluk sama Irene dan ZeeZee.” ZeeZee dan Irene yang bingung melangkah memeluk Romlah.
“Mimi kenapa? Kok mimi nangis. Emangnya mimi sakit apa?”
“Iya. Irene liat tadi pagi mimi baik-baik aja. Mimi kenapa?
“Maafin mimi ya, sayang. Mimi harus bilang ini semua sama kalian.”
“Romlah, saya tidak mau kamu membahas masalah kita sekarang.” Raihan memotong pembicaraan Romlah.
“Mimi sama papa…”
“Romlah, apa kamu tidak ingin mendengar perkataan dokter pada saya?”
“Bang, aku itu gakpapa. Paling maag aku kambuh karena dari kemaren belum makan. Ini udah gakpapa kok. Aku mau sekarang juga semua diselesaiin.” Romlah mengalihkan pandangannya dari Raihan menuju ZeeZee dan Irene.
“Papa dan mimi sudah memutuskan untuk berpisah.” Bagai terkena petir di siang bolong, ZeeZee dan Irene mendadak kaku mendengar perkataan Romlah.
“Kenapa mi, pap?” Tanpa terasa air mata Irene mengalir sedangkan ZeeZee mencoba menahan namun ternyata tak mampu. Keduannya menangis.
“Mimi ngijinin kalian untuk memilih mau ikut sama siapa, termasuk kamu ZeeZee. Klo kamu mau tinggal sama papa, mimi akan bilang ke orang tua kamu. Mimi jamin mereka tidak akan keberatan.” Romlah berkata seakan tidak peduli pada keadaannya begitu juga keadaan orang-orang disekitarnya.
“Tapi untuk hak asuh anak kita, saya pastikan akan jatuh ke tangan saya.” Raihan memandang kecewa pada Romlah. Betapa dia menyadari keinginan berpisah dari Romlah sudah kuat. Raihan berpikir bahwa kehamilan Romlah dan terbukannya kasus parfum akan melunakan hati Romlah.
Romlah bingung dengan perkataan Raihan. Romlah takut kalau Raihan juga akan mengambil hak asuh Romi.
“Enggak, bang. Romi harus tetap tinggal sama aku.”
“Saya tidak sedang membicarakan Romi. Saya juga tidak sedang membicarakan ZeeZee ataupun Irene. Saya sedang membicarakan anak kita.”
“Maksud kamu apa sih?” Romlah semakin tidak paham arah pembicaraan Raihan.
“Kamu itu dari dulu gak pernah berubah. Selalu terburu-buru, selalu menuruti emosi kamu walau lebih sering kamu akhirnya menyesal tapi kamu gak pernah belajar. Kamu tau tadi pagi kamu mengalami apa? Kamu hampir keguguran, Romlah.”
***
“Kandungan istri Anda sangat lemah, jadi sepertinya Bu Romlah harus bedrest sampai usai kehamilannya lebih tua sehingga kandungannya sudah lebih kuat. Mungkin di usia 4 bulan.” Raihan bingung mendengar perkataan dokter.
“Maaf, dok, saya tidak mengerti. Kandungan? Kehamilan?”
“Jadi bapak belum tahu?” Raihan hanya menggeleng menjawab pertanyaan dokter.
“Baiklah. Selamat ya, pak. Istri Anda sekarang sedang mengandung. Usia kehamilannya berjalan 6 minggu.” Raihan masih tidak percaya dengan yang didengarnya. Namun dia juga yakin tak mungkin seorang dokter berbohong akan hal ini.
Dengan perasaan senang, Raihan mendengarkan semua anjuran dokter yang harus dipatuhi Romlah selama masa kehamilannya. Dia mengingat dan serius mendengar setiap perkataan agar tak salah termasuk menanyakan hubungan Romlah mencium bau parfum wanita didirinya dengan kehamilan Romlah. Ternyata dalam ilmu kedokteran itu semua saling bersangkutan.
***
Raihan memandang Romlah sejenak. Romlah memikirkan setiap kata yang diucapkan Raihan, namun entah kenapa dia tak juga mengerti.
“Jadi….” ZeeZee yang terlebih dahulu menyadari berteriak sekencangnya.
“Kak ZeeZee ngagetin.” Irene yang berdiri disamping ZeeZee menjadi orang yang paling menikmati teriakan ZeeZee.
“Iihh kalian semua lola. Pake Pentium berapa sih?” ZeeZee hanya tersenyum-senyum jail ke Raihan.
“Yaampun, Mpok..” Oji dan Nafisa yang baru menyadari ikut berteriak.
“Trus masalah parfum itu, bang?” Nafisa bertanya polos. Walau tidak tepat waktunya, namun pertanyaan Nafisa membuka jalan untuk semua.
“Kata dokter itu bawaan kehamilan aja, nanti juga hilang sendiri. Sama kayak ibu-ibu hamil yang gak suka sama bau suaminya. Nah ini malah cium bau orang lain ditubuh suaminya.” Raihan melirik Romlah yang mulai menyadari arah pembicaraan mereka.
“Jadi mimi hamil?” Irene yang menyadari paling lama berteriak paling kencang
“Bang..” Romlah langsung menarik tangan Raihan yang daritadi berdiri disebelahnya. Tanpa sepatah katapun mereka berpelukan seakan memahami perasaan masing-masing.
Oji, Nafisa, ZeeZee dan Irene bergantian memberikan selamat dan doa untuk Raihan, Romlah dan calon keluarga mereka. Semua berakhir bahagia hari ini. Tantangan apalagi yang akan dihadapi Raihan selama Romlah hamil? Stay tune.. *kecupbasah
Sabtu, 22 Februari 2014
KISAH ROMLAH RAIHAN (Tukang Bubur Naik Haji) part 13
Sepulang dari rumah Riyamah, Romlah tak juga dapat beristirahat dengan tenang. Pikirannya terus melayang membayangkan hal terburuk yang akan terjadi. Romlah takut kehilangan Raihan. Dia tak mampu membayangkan hidup tanpa Raihan. Romlah menerka-nerka hal yang mungkin bisa jadi penyebab Raihan menduakan cintanya. Pikirannya kalut.
Sepanjang hari dilalui Romlah dengan perasaan cemas. Rencana untuk mengerjakan pekerjaan kantor di rumah pun terbengkalai karena rasa takut yang menyelimuti. Romlah merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Semua perasaan yang dirasa menjadi berlebihan dari biasa. Romlah menjadi tidak bisa berpikir jernih.
“Kok bang Raihan pulangnya lama banget ya? Dia kemana dulu sih? Jangan-jangan dia jalan dulu lagi sama cewek lain.” Romlah mondar-mandir di ruang tamu sambil sesekali memandang ke luar memastikan kedatangan Raihan.
Nafisa yang sudah kembali dari rumah orang tuanya memperhatikan Romlah. Melihat Romlah mondar-mandir tidak jelas, Nafisa hanya mampu mengeleng-geleng kepala. Di dekatinya Romlah yang masih sibuk dengan kegiatannya hingga tak menjadari kedatangan Nafisa.
“Mpook..” Suara lembut Nafisa ternyata cukup mengagetkan Romlah yang sedang serius memandang ke luar rumah.
“Ya ampun, Naf. Lo ngagetin aja sih.”
“Maaf, Mpok. Tapi mpok ngapain daritadi mondar-mandir aja? Nungguin siapa sih?” Nafisa mengikuti Romlah memandang ke luar rumah.
“Raihan.” Romlah menjawab pertanyaan Nafisa tanpa melihat.
“Bang Raihan? Bukannya bang Raihan ke kantor ya, mpok?”
“Ya iya emang. Makanya gue nungguin dia pulang.” Romlah terus memandang ke luar.
“Tapikan ini masih jam 2, mpok. Bang Raihan paling cepet kan pulang jam 5.” Nafisa memandang Romlah heran. Tak biasanya Romlah berperilaku seperti ini.
“Kok lama banget sih, Naf?” Nafisa hanya memandang bengong mendengar pertanyaan Romlah.
Kali ini Nafisa tak mengucap satu katapun saat melihat Romlah kembali sibuk dengan kegiatannya sendiri. Memandang keluar dengan wajah cemas sambil sesekali melihat jam.
***
Romlah menunggu Raihan di kamar. Rasa lelah menunggu Raihan berubah menjadi rasa marah. Romlah hanya berdiam diri di kamar walau dia tahu Raihan telah pulang. Raihan yang juga lelah langsung menuju kamar dengan harapan dapat langsung beristirahat.
“Abis darimana kamu?” Romlah langsung memberikan pertanyaan ketika Raihan memasuki kamar.
“Dari kantor.” Raihan yang menyadari suasana panas di dalam kamar memilih untuk mengalah. Dia terlalu lelah untuk bertengkar dengan Romlah.
Raihan mendekati Romlah untuk mencium keningnya seperti kebiasaan mereka semenjak menikah. Romlah mencium bau parfum wanita saat Raihan mendekatinya.
“Kamu darimana?” Kali ini Romlah menanyakannya dengan nada tinggi.
“Kamu kenapa? Semenjak kemarin kamu marah-marah terus. Saya lelah, Romlah. Saya tidak ingin bertengkar dengan kamu sekarang. Lebih baik saya membersihkan diri.” Raihan melangkahkan kaki ke kamar mandi.
“Membersihkan bukti klo kamu selingkuh.” Perkataan Romlah membuat Raihan berbalik badan. Raihan menatap tajam Romlah yang kini menatapnya dengan air mata. Rasa kesal ditahan Raihan. Dia menarik nafas beberapa kali agar mampu menenangkan hatinya.
“Saya tidak tahu pikiran apa yang sudah meracuni kamu hingga bisa menuduh saya seperti itu.” Raihan menarik nafas kembali. Ingin rasanya menumpahkan rasa kesal itu pada Romlah. Namun Raihan tak pernah mampu melihat Romlah menangis.
“Saya tidak ingin meneruskan pembicaraan ini.” Raihan melanjutkan langkah menuju kamar mandi.
***
Raihan tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Romlah. Dia yang begitu mencintai Romlah dituduh berselingkuh. Di ruang kerja, Raihan beberapa kali membalik-balik laporan dari kantor di hadapannya. Konsentrasinya buyar memikirkan Romlah. Pandangannya melayang melihat setiap sudut ruangan, tapi jiwanya tidak sedang disini.
Permasalahan dikantor ditambah masalah dengan Romlah membuat Raihan tak mampu lagi berpikir. Raihan menggerakan semua persendian. Rasa lelahnya telah sampai ambang batas. Betapa saat ini dia membutuhkan sentuhan Romlah.
***
ZeeZee yang menyadari permasalahan orang tuanya mencoba tidak memperdulikan. Dia tidak ingin ikut campur terlalu jauh. Irene yang juga menyadarinya memiliki sifat berbeda dengan ZeeZee. Dia justru memikirkan terlalu dalam permasalahan orang tua mereka.
“Kak, mimi sama papa kenapa sih?” Dengan wajah cemas Irene mendatangi ZeeZee yang sedang di kamar.
“Udah lo gak usah pikirin. Mending belajar sana.” ZeeZee tetap focus pada tugas sekolahnya.
“Tapi kak..” Irene tetap mendesak ZeeZee untuk membahas semua.
“Kita masih anak kecil, gak boleh ikut campur masalah orang tua.” ZeeZee mencoba bersikap netral dalam masalah ini. Dia juga merasakan kecemasan yang sama dengan yang dirasakan Irene. Namun kedewasaan membuatnya mampu memandang permasalahan ini dari sisi lain.
“Tapi kok berantemnya gak selesai-selesai ya?”
“Suami istri berantem itu biasa. Anggep aja bumbu-bumbu pernikahan.”
“Kak ZeeZee sok dewasa.”
“Yee dikasih tau malah ngatain.” ZeeZee cemberut iseng pada Irene. Irene hanya tersenyum melihat muka ZeeZee. Pikirannya masih terpaku pada masalah orang tua mereka.
“Udah klo lo gak ada PR, mending lo tidur. Awas besok kesiangan loh.”
Irene meninggalkan kamar ZeeZee dengan wajah cemberut. Solusi yang diharapkan datang dari ZeeZee ternyata tidak didapatnya. Irene memutar otak agar mendapatkan cara untuk membantu orang tuanya rukun kembali.
“Ah klo masalah kayak gini gue kalah jago sama kak ZeeZee. Cuma dia yang punya otak penuh dengan ide-ide aneh.” Irene menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya Irene memilih tidur karena tak kunjung mendapatkan ide apapun.
***
“Bang, aku mau bicara. Bisakan kamu berangkat agak siang?” Romlah memulai pembicaraan saat Raihan tengah merapikan diri bersiap berangkat ke kantor. Romlah yang masih memakai pakaian tidur memandang tajam Raihan. Tak ada senyum pagi yang biasa diberikan.
“Saya sedang banyak pekerjaan. Bagaimana saat kita makan siang?” Raihan memandang Romlah datar.
“Aku mau sekarang!” Romlah bersikap tegas tanpa ekspresi apapun.
“Aku ada janji meeting pagi ini dengan klien.” Romlah langsung duduk tanpa berbicara. Raihan yang sudah hapal dengan sikap Romlah. Dia tahu bahwa Romlah sedang merajuk. Raihan langsung mengambil telpon genggam dan menghubungi sekretaris pribadinya.
“Hallo, Siska. Saya mau kamu membatalkan semua janji saya hari ini. Tolong di reschedul ulang semuanya.” Telpon gengam ditutup Raihan. Raihan berjalan mendekati Romlah.
“Kamu tidak ke kantor lagi hari ini?” Raihan memastikan keadaan Romlah. Dia tahu bukan tipe Romlah meninggalkan pekerjaannya sampai 2 hari.
“Aku sedang tidak ingin membahas masalah pekerjaan. Aku ingin membahas masalah kita.” Romlah menatap tajam Raihan. Raihan yang menyadari sikap Romlah hanya mampu menarik nafas.
“Sebenarnya masalah bukan ada di kita, tapi di kamu.” Raihan tetap berusaha tidak menaikan volume suaranya. Raihan menarik nafas agar mampu mengontrol emosi yang bisa saja terpancing atas sikap Romlah.
“Aku, abang bilang. Seharusnya aku yang nanya sama abang. Abang ini kenapa? Salah aku apa sama abang sehingga abang tega ngelakuin ini?”
“Apa yang sudah saya lakuin, Romlah? Saya tidak mengerti semua pembicaraan kamu selama ini.” Romlah mulai terisak menghadapi Raihan yang juga tak mau disalahkan begitu saja.
“Bang, aku bisa maafin semua kesalahan abang, apapun itu. Tapi aku gak pernah bisa nerima sebuah pengkhianatan, bang. Aku gak rela diduakan dan aku gak pernah mau diduakan.”
“Siapa yang sudah menduakan kamu?”
“Bang, aku cape kamu ngeles terus. Aku udah gak peduli lagi apa yang kamu lakuin. Aku gak bisa hidup dengan seorang pengkhianat.”
“Maksud kamu? Romlah, kamu jangan main-main ya!”
“Aku gak main-main, bang.”
“Romlah, saya pernah bilang bahwa saya akan melakukan apapun asal kamu bahagia. Sekarang mau kamu apa? Asal kamu bahagia, saya akan menuruti semuanya.”
Raihan menatap Romlah dengan tatapan datar. Romlah yang sejak tadi sudah dipenuhi air mata hanya mampu menutup wajahnya sambil terus terisak.
Apa yang diinginkan Romlah? Akankah Raihan menuruti semua permintaan Romlah? Stay tune.. *kecupbasah
Langganan:
Postingan (Atom)