Translate

Rabu, 23 Oktober 2013

SURAT UNTUK DIA

Aku gak tau harus mulai ini dari mana. Bukan karena terlalu banyak, hanya bingung ingin memulainya. Bukan sebuah caci maki, hanya ungkapan. Bukan dendam, hanya sedikit kecewa. Aku tau posisiku di rumah ini hanya menumpang. Dia sangat baik karena mau menampungku disini. Tapi bukan berarti semua dapat dilakukan. Tidak. Dia gak pernah melakukan kekerasan fisik, namun psikis.

Mengapa semua yang terjadi di rumah ini menjadi salahku? Aku tentu tak dapat memegang kendali semua. Saat aku memutuskan sesuatu, Dia bilang aku bukan orang yang punya rumah ini. Saat aku hanya mengikuti, Dia bilang aku tidak punya inisiatif. Jadi aku harus bagaimana?

Mungkin posisiku di rumah ini lebih rendah dari pembantu. Semua kesalahan mereka dilimpahkan kepadaku. Seolah-olah aku yang mengerjakan. Aku harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di rumah ini entah siapapun yang melakukan. Hukuman harus aku yang menerima. Caci dan maki selalu menjadi santapan.

Aku tidak mempermasalahkan itu. Namun saat itu bukan terjadi karena ulahku tentu aku ingin memberontak. Dan sekali lagi Dia benar, aku tak punya daya apapun karena sekali lagi aku menumpang disini. Namun itu bukan berarti semua harus terjadi bukan? Mengapa tak sekalipun dia mampu mendengarkan ucapan orang lain?

Aku hanyalah anak muda biasa yang ingin memiliki kesempatan untuk mengekspor diri. Semua harus aku korbankan karena peraturan Dia yang terlalu ketat diterapkan padaku. Aku tau maksud Dia baik, namun bukankah masih ada cara lain. Bukan dengan mencaci.

Aku memang melakukan banyak hal yang Dia tidak tau. Namun itu tak pernah melanggar hukum apapun. Baik itu hukum pidana, susila maupun sosial. Semua masih dalam taraf wajar. Semua masih berjalan di rel yang seharusnya. Hanya sedikit bersenang-senang dengan teman-teman. Apa itu salah?

Terlepas dari semua itu. Aku tidak suka bila Dia menceritakan hal buruk tentang orang tuaku. Apa Dia tidak sadar? Aku ini anaknya. Apapun yang terjadi aku tetap anaknya. Bukan menutup mata akan yang terjadi, tapi aku rasa aku tak perlu tau itu. Yang kutau orang tua ku yang berjuang mati-matian. Bercucuran keringat dan air mata. Kaki jadi tangan, tangan jadi kaki. Semua dilakukan untuk kami. Jangan pernah menceritakan apapun klo gak tau yang sudah kami lewati.

Dia sering bilang klo otakku dimana, ragaku dimana. Ya Dia benar. Otakku tak lagi disini. Konsentrasiku buyar. Aku stress. Mungkin tahap ingin gila. Tekanan yang diberikan tidak sepenuhnya dapat kuterima. Apa aku salah? Kenapa Dia gak bunuh aja aku sekalian? Setidaknya melepaskan bebannya dan juga tidak menambah beban orang tuaku yang kata Dia berengsek itu.

Aku bertahan disini karena mereka. Dia salah klo mengira aku ingin pergi dari sini. Aku ingin pergi dari dunia ini. Agar tak menjadi beban siapapun. Sering terlintas dalam benakku untuk mengakhiri semua. Tapi apa aku sanggup melihat air mata orang tuaku? Apa aku sanggup mengecewakan mereka? Akankah aku mampu bertahan dilangkah terakhir ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar