Selamat Hari Ibu, Mama! Benarkah Mama Perlu Pelumas dan Doyan Makan Apel Malang?
Aku tercekat. Berita apa lagi di layar kaca ini? Baby sitter ku asyik
menonton televisi sambil tangannya memegang sendokberisi suapan nasi.
Telor dadar dan sayur bayam siap diberikan ke dalam mulutku. Aku
belum bisa membaca tetapi aku sanggup mendengar, menyimak segala situasi
di sekelilingku. Semua orang ribut hari ini adalah Hari Ibu. Ada bunga
di mana-mana, ada puisi di mana-mana. Tiba-tiba seorang ibu
mendapat tempat yang sangat khusus hari ini. Bahkan mama, ibuku
ini, sejak pagi sudah repot memanggil tukang salon si banci yang pakai
anting-anting sebelah itu, untuk menyanggul rambut ibu dan ditancap
bunga melati melingkar penuh. Mama akan menghadiri upacara Hari Ibu
gede-gedean. Kembali ke kata-kata si pembawa berita televisi. Nama mama
disebut lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya. Kini berita bertambah
satu, ada pelumas yang dibutuhkan mama. Hah? Pelumas apa’an ya? Bukankah
dulu papa sering ke bengkel beli minyak pelumas untuk motor
gedenya, atau untuk mobilnya? Mama, kata si penyiar televisi, selain
menyebut apel Malang yang harus dikirim segera, kini ternyata minta juga
pelumas, melalui mulut orang lain. Duh, tak ada habis-habisnya urusan
mama. Rumah mewah, sofa keren, mainanku yang satu kamar penuh, apakah
dibeli dari urusan permintaan apel Malang dan minyak Pelumnas?
Mama memang cantik, dia sadar penuh hal itu. Mama tertawa-tawa di depan
orang banyak, padahal asap rokoknya mengepul tiap hari lewat pipiku.
Kalau papa masih hidup, tentu akan dilarang keras ia merokok dekat-dekat
anaknya. Mama semakin menjadi perokok berat sejak papa tiada. Gundah
gulana ia lampiaskan di batangan rokok yang menyala-nyala sepanjang
waktu itu. Mama tetap ibuku. Baik buruk, ia tetap menjadi sejarah
yang terukir pada kalbuku. Mengapa mama begitu bodoh melakukan banyak
tindakan yang tak sesuai dengan tatakrama kehidupan yang patut?
Papa, tahun lalu dengan bawel melarang ini itu, dan aku tahu persis itu
yang membuat mama gerah, kesal, dan amarah meluntap sepanjang hari. Mama
tak perduli mempermalukan papa saat tamu sebanyak 30 orang itu sudah
datang di rumah untuk memestakan keluarga mama bernatalan yang khusus
dibuat oleh papa sebagai tanda toleransi beragama. Ia pergi,
ngabur seharian, pulang sudah menjelang maghrib, lalu ngabur ke kamar
atas, tanpa keluar lagi sampai tamu bubar. Musik keroncong
yang dipanggil papa, juga pohon natal berlampu kerlap kerlip bagai saksi
bisu, untuk kejadian tahun lalu yang memalukan itu. Mama seakan memang
benci sekali kepada papa pada saat itu. Mempermalukan papa
di depan orang banyak, seakan-akan menjadi tujuan utamanya. Dan ia
memang tidak perduli. Muka papa memerah sekelilingnya menahan malu di
depan para tamu, sanak keluarga, yang juga tahu persis kejadian
itu namun kini bungkam seribu bahasa bila ditanya. Mama mencari-cari
paspor yang entah dimana ia simpan.
Esoknya,
saat papa meleng, mama kabur ke Malaysia bersama rombongan terhormat.
Tanpa izin suami, tanpa permisi. Papa terpekur di sofa dekat kolam
renang. Sedih! Ia merasa dihina. Apalagi sebagai nakhoda rumah tangga,
yang tak dimintai izin atas kepergian istri, alangkah sakit hatinya.
Papa menghubungi seseorang, menangis sejadi-jadinya. Namun saat
itu ia malah ditegur keras, dianggap kurang bersabar, kurang lembut
terhadap istri. Aku masih ingat kata-kata papa saat mengadu, “Aku
menasihatinya hampir tiap hari, hati-hati jangan mudah menerima hadiah
ini itu serta sumbangan yang penuh misteri, itu tidak baik dan
berbahaya. Hidup sebegini sudah seharusnya bersyukur…., tapi istri aku
marah, tidak suka diatur-atur. Urusan anak begitu pula, dia
sering membedakan kasih sayang terhadap anak- anak..” Aku menyimak dan
menyimak terus. Lalu, berkat disabari oleh orang tempat ia mengadu, papa
dianjurkan tetap membeli kado, membeli bunga cantik untuk
ulang tahun mama di akhir bulan. Semula papa tidak mau tapi tetap
dibujuk dengan sabar, dan berhasil. Ada tiga jambangan bunga indah di
atas meja panjang, saat mama Ulang Tahun. Ia bangun tidur, bunga
sudah tersedia. Cincin berlian begitu pula…., namun saat pesta
berlangsung, mama tetap sengaja bernyanyi keras-keras di depan para tamu
diiringi musik, “Pulangkan saja … aku pada ayahku…..!” Duuuh… mama…
mama….., aku tidak sampai hati melihat papa terpekur di sudut tangga. Si
pembujuk papa tak kehilangan akal.
Dimainkanlah lagu-lagu cinta,
dan disodorilah keduanya ke tengah lantai untuk berpelukan, berdansa
dengan rapat-rapat. Itulah cara mencairkan suasana dan api yang
menyala. Sebelumnya, bahkan di tengah pesta, mama masih bercerita kepada
teman-teman dekatnya, bahwa ia sudah tidak tahan lagi menghadapi sang
suami yang bawel, penuhaturan, dan cerai adalah jalan
terindah baginya. Bahkan akhirnya mama menyiapkan pengacara, berkata
kepada berbagai teman dekatnya tentang rencana itu, di balik punggung
pemburu berita. Itu semua adalah cerita tahun lalu. Ya, tahun lalu di
bulan Desember sebelum papa terjembab di dekat kaki piano seberang
kaca di ruang keluarga. Lalu muncullah berita duka. Papa pergi
selamanya…., masyarakat luas berduka, aku apalagi. Mama, kemudian
mengobral air mata sepanjang hari, dan pesta sana-sini untuk peluncuran
buku, untuk ulang tahun anak-anaknya, dan rajin datangke studio
layar kaca. Kedukaan, kecintaan kepada papa luar dalam,
kesetiaannya, semua diumbar dengan bebasnya. Orang tentu bersimpati.
Lama-lama bercuriga. Lama-lama menjadi bahan tertawaan. Mama, apa pun
juga, engkau tetap ibuku. Apa pun juga. Urusan Tuhanlah nanti,
yang menakar segala baik burukmu, kesucian niatanmu atau pedustaanmu.
Selamat Hari Ibu, mama ! Aku masih tetap berharap banyak panutan yang
bisa kupetik dari kisahmu. Yang buruk akan kutinggalkan. Yang baik akan
menjadi bekalku sampai jauh ke seberang sana usiaku nanti. I Love
You, mama…..! Papa…., semoga aku tetap bisa selamanya berbakti kepada
mama…, meski di hari-hari terakhir papa, mama tetap melukai hatimu…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar