Translate

Jumat, 04 April 2014

KISAH ROMLAH RAIHAN (Tukang Bubur Naik Haji) part 14


“Aku mau cerai, bang.” Romlah menatap lurus. Meski terdengar mantap, Romlah tak mampu menatap wajah Raihan saat mengatakan keinginannya.

“Apa??” Raihan memandang heran. Dia tak percaya dengan kata yang baru saja diucapkan Romlah. Tanpa sepatah katapun Raihan meninggalkan Romlah dengan membanting pintu kamar.

            Oji dan Nafisa yang sedang berbincang di ruang tengah terkejut mendengar suara gadung dari kamar Romlah. Mereka hanya memandang heran pada Raihan yang keluar dengan wajah penuh emosi.

“Ada apa, bang?” Oji memandang panic pada Raihan

“Mpok kamu, Ji.” Raihan berusaha menenangkan diri.

“Mpok kenapa, bang?”

“Mpok kamu minta cerai.” Mendengar perkataan Raihan, Oji tak habis pikir.

“Emang Abang sama Mpok kenapa? Kok sampe sejauh itu.”

“Romlah menuduh saya selingkuh. Padahal jelas-jelas saya di kantor sepanjang hari dan selalu pulang tepat waktu. Saya tidak mengerti apa alasan dia menuduh saya seperti itu.” Raihan terdengar menarik nafas panjang.

“Astagfirullah, yaudah abang tenang dulu ya. Jangan ikut kebawa emosi. Pikirin baik-baik. Biar Oji bantu ngomong sama si Mpok ya.” Oji melangkah menuju kamar Romlah. Nafisa hanya mampu memandang Oji dan Raihan. Dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.

***

            Oji membuka kamar Romlah perlahan. Dilihatnya Romlah masih terisak di pinggir tempat tidur.

“Mpookk..” Oji melangkah pelan. Romlah yang menyadari kedatangan Oji memandang kosong. Oji yang tak tega melihat keadaan Romlah mendekat dan memeluk Romlah.

            Dalam pelukan Oji, Romlah semakin terisak. Air matanya semakin deras. Semua Romlah tumpahkan di bahu sang adik.

“Gue takut kehilangan Raihan, Ji. Gue gak tau apa yang harus gue lakuin.”

“Mpok, mending lo pikirin lagi deh semua yang lo bilang ke Bang Raihan. Lo gak boleh gegabah, Mpok. Klo gak lo bakal nyesel seumur hidup lo.”

            Tangis Romlah semakin kuat. Namun tiba-tiba, Romlah melepaskan pelukannya pada Oji. Tangannya beralih pada perutnya sendiri. Wajah Romlah berubah meringis menahan sakit.

“Ji, perut gue.” Oji panic melihat perubahan pada Romlah.

“Mpok, lo kenapa? Bang Raihan… Bang Raihan…” Oji teriak memanggil Raihan.

“Udah, Ji. Gue gak papa kok. Palingan karena dari kemaren lupa makan.” Romlah terus memegangi perutnya

Oji yang tidak peduli dengan perkataan Romlah terus memanggil Raihan. Raihan yang terkejut mendengar panggilan Oji langsung berlari menuju kamar diikuti Nafisa.

“Kenapa, Ji?”

“Mpok, bang.”

“Sayang, kamu kenapa?” Raihan mendekati Romlah.

“Perut aku sakit.” Romlah masih menangis sambil memegangi perutnya.

“Mpok itu kakinya kenapa?” Nafisa yang berdiri tepat dibelakang Raihan memandang ke lantai. Seketika semua orang memandang kaki Romlah. Terlihat darah segar mengalir di kaki Romlah

“Astafirullah, sayang kamu kenapa?” Raihan memeluk Romlah dengan panic.

“Oji, tolong siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.” Romlah terlihat semakin lemas. Tak terdengar lagi suara tangisnya. Hanya sesekali dia mengerang kecil karena kesakitan.

            Dalam keadaan panic, Oji berusaha mempercepat laju mobil. Romlah yang duduk dibelakang bersama Raihan berkali-kali menggumam kesakitan.

“Bang, perut aku sakit banget.”

“Iya, sayang. Kamu sabarnya, sebentar lagi kita sampai.” Raihan terus mencoba menenangkan Romlah yang berada dalam dekapannya.

“Oji, bisa lebih kenceng lagi!” Ucapan Raihan terdengar sangat panic.

“Iya, bang. Sabar ya, Mpok. Jalanannya macet.”

“Jakarta!” Raihan mengumpat sendiri

***

            Setibanya di rumah sakit, Romlah langsung dibawa ke Ruang Unit Gawat Darurat. Raihan, Oji dan Nafisa yang menunggu di depan ruangan cemas sambil terus berdoa. Raihan tak henti-hentinya bolak-balik di depan pintu sambil sesekali mengintip ke dalam. Hampir setengah jam berlalu tapi tak ada dokter ataupun suster yang keluar untuk memberitahukan keadaan Romlah.

            Tak lama kemudian, suster keluar ruangan untuk memberitahu bahwa dokter ingin bertemu dengan Raihan. Raihan bergegas menemui dokter sedangkan Oji dan Nafisa mengurus Romlah yang pindah ke ruang rawat inap.

“Selamat siang, dok.” Raihan dengan sopan masuk dan duduk tepat di depan sang dokter.

“Baik, pak. Saya ingin membicarakan keadaan Ibu Romlah.”

“Ada apa dengan istri saya, dok?”

            Setelah mendengarkan semua perkataan dokter, Raihan langsung menuju apotik untuk menebus obat yang harus langsung dikonsumsi Romlah. Raihan berjalan sambil terus bernyanyi hingga tak menyadari ada yang memanggil.

“Papaaa….” Irene dan ZeeZee memanggil Raihan dengan serentak namun yang dipanggil tak kunjung menoleh.

“Papa..” ZeeZee memukul bahu Raihan yang kini ada di depannya.

“Yaampun ZeeZee, Irene, ngagetin aja.”

“Lagian papa dipanggilin daritadi gak denger. Mimi gimana pap?” ZeeZee memandang serius Raihan.

“Sekarang udah di ruang inap. Yuk sekalian kita liat!”

“Emang papa darimana?”

“Papa abis nebus obat, Ren.”

            Sesampainya di ruang inap Romlah, Romlah yang sudah sadar sedang berbincang dengan Oji dan Nafisa. Melihat kedatangan Raihan, ZeeZee dan Irene, mendadak Romlah menangis.

“Sini, nak. Mimi mau dipeluk sama Irene dan ZeeZee.” ZeeZee dan Irene yang bingung melangkah memeluk Romlah.

“Mimi kenapa? Kok mimi nangis. Emangnya mimi sakit apa?”

“Iya. Irene liat tadi pagi mimi baik-baik aja. Mimi kenapa?

“Maafin mimi ya, sayang. Mimi harus bilang ini semua sama kalian.”

“Romlah, saya tidak mau kamu membahas masalah kita sekarang.” Raihan memotong pembicaraan Romlah.

“Mimi sama papa…”

“Romlah, apa kamu tidak ingin mendengar perkataan dokter pada saya?”

“Bang, aku itu gakpapa. Paling maag aku kambuh karena dari kemaren belum makan. Ini udah gakpapa kok. Aku mau sekarang juga semua diselesaiin.” Romlah mengalihkan pandangannya dari Raihan menuju ZeeZee dan Irene.

“Papa dan mimi sudah memutuskan untuk berpisah.” Bagai terkena petir di siang bolong, ZeeZee dan Irene mendadak kaku mendengar perkataan Romlah.

“Kenapa mi, pap?” Tanpa terasa air mata Irene mengalir sedangkan ZeeZee mencoba menahan namun ternyata tak mampu. Keduannya menangis.

“Mimi ngijinin kalian untuk memilih mau ikut sama siapa, termasuk kamu ZeeZee. Klo kamu mau tinggal sama papa, mimi akan bilang ke orang tua kamu. Mimi jamin mereka tidak akan keberatan.” Romlah berkata seakan tidak peduli pada keadaannya begitu juga keadaan orang-orang disekitarnya.

“Tapi untuk hak asuh anak kita, saya pastikan akan jatuh ke tangan saya.” Raihan memandang kecewa pada Romlah. Betapa dia menyadari keinginan berpisah dari Romlah sudah kuat. Raihan berpikir bahwa kehamilan Romlah dan terbukannya kasus parfum akan melunakan hati Romlah.

            Romlah bingung dengan perkataan Raihan. Romlah takut kalau Raihan juga akan mengambil hak asuh Romi.

“Enggak, bang. Romi harus tetap tinggal sama aku.”

“Saya tidak sedang membicarakan Romi. Saya juga tidak sedang membicarakan ZeeZee ataupun Irene. Saya sedang membicarakan anak kita.”

“Maksud kamu apa sih?” Romlah semakin tidak paham arah pembicaraan Raihan.

“Kamu itu dari dulu gak pernah berubah. Selalu terburu-buru, selalu menuruti emosi kamu walau lebih sering kamu akhirnya menyesal tapi kamu gak pernah belajar. Kamu tau tadi pagi kamu mengalami apa? Kamu hampir keguguran, Romlah.”

***

“Kandungan istri Anda sangat lemah, jadi sepertinya Bu Romlah harus bedrest sampai usai kehamilannya lebih tua sehingga kandungannya sudah lebih kuat. Mungkin di usia 4 bulan.” Raihan bingung mendengar perkataan dokter.

“Maaf, dok, saya tidak mengerti. Kandungan? Kehamilan?”

“Jadi bapak belum tahu?” Raihan hanya menggeleng menjawab pertanyaan dokter.

“Baiklah. Selamat ya, pak. Istri Anda sekarang sedang mengandung. Usia kehamilannya berjalan 6 minggu.” Raihan masih tidak percaya dengan yang didengarnya. Namun dia juga yakin tak mungkin seorang dokter berbohong akan hal ini.

            Dengan perasaan senang, Raihan mendengarkan semua anjuran dokter yang harus dipatuhi Romlah selama masa kehamilannya. Dia mengingat dan serius mendengar setiap perkataan agar tak salah termasuk menanyakan hubungan Romlah mencium bau parfum wanita didirinya dengan kehamilan Romlah. Ternyata dalam ilmu kedokteran itu semua saling bersangkutan.

***

Raihan memandang Romlah sejenak. Romlah memikirkan setiap kata yang diucapkan Raihan, namun entah kenapa dia tak juga mengerti.

“Jadi….” ZeeZee yang terlebih dahulu menyadari berteriak sekencangnya.

“Kak ZeeZee ngagetin.” Irene yang berdiri disamping ZeeZee menjadi orang yang paling menikmati teriakan ZeeZee.

“Iihh kalian semua lola. Pake Pentium berapa sih?” ZeeZee hanya tersenyum-senyum jail ke Raihan.

“Yaampun, Mpok..” Oji dan Nafisa yang baru menyadari ikut berteriak.

“Trus masalah parfum itu, bang?” Nafisa bertanya polos. Walau tidak tepat waktunya, namun pertanyaan Nafisa membuka jalan untuk semua.

“Kata dokter itu bawaan kehamilan aja, nanti juga hilang sendiri. Sama kayak ibu-ibu hamil yang gak suka sama bau suaminya. Nah ini malah cium bau orang lain ditubuh suaminya.” Raihan melirik Romlah yang mulai menyadari arah pembicaraan mereka.

“Jadi mimi hamil?” Irene yang menyadari paling lama berteriak paling kencang

“Bang..” Romlah langsung menarik tangan Raihan yang daritadi berdiri disebelahnya. Tanpa sepatah katapun mereka berpelukan seakan memahami perasaan masing-masing.

            Oji, Nafisa, ZeeZee dan Irene bergantian memberikan selamat dan doa untuk Raihan, Romlah dan calon keluarga mereka. Semua berakhir bahagia hari ini. Tantangan apalagi yang akan dihadapi Raihan selama Romlah hamil? Stay tune.. *kecupbasah