“Aku mau cerai, bang.”
Romlah menatap lurus. Meski terdengar mantap, Romlah tak mampu menatap wajah
Raihan saat mengatakan keinginannya.
“Apa??” Raihan
memandang heran. Dia tak percaya dengan kata yang baru saja diucapkan Romlah.
Tanpa sepatah katapun Raihan meninggalkan Romlah dengan membanting pintu kamar.
Oji dan Nafisa yang sedang berbincang di ruang tengah
terkejut mendengar suara gadung dari kamar Romlah. Mereka hanya memandang heran
pada Raihan yang keluar dengan wajah penuh emosi.
“Ada apa, bang?” Oji
memandang panic pada Raihan
“Mpok kamu, Ji.” Raihan
berusaha menenangkan diri.
“Mpok kenapa, bang?”
“Mpok kamu minta
cerai.” Mendengar perkataan Raihan, Oji tak habis pikir.
“Emang Abang sama Mpok
kenapa? Kok sampe sejauh itu.”
“Romlah menuduh saya
selingkuh. Padahal jelas-jelas saya di kantor sepanjang hari dan selalu pulang
tepat waktu. Saya tidak mengerti apa alasan dia menuduh saya seperti itu.”
Raihan terdengar menarik nafas panjang.
“Astagfirullah, yaudah
abang tenang dulu ya. Jangan ikut kebawa emosi. Pikirin baik-baik. Biar Oji
bantu ngomong sama si Mpok ya.” Oji melangkah menuju kamar Romlah. Nafisa hanya
mampu memandang Oji dan Raihan. Dia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.
***
Oji membuka kamar Romlah perlahan. Dilihatnya Romlah masih
terisak di pinggir tempat tidur.
“Mpookk..” Oji
melangkah pelan. Romlah yang menyadari kedatangan Oji memandang kosong. Oji
yang tak tega melihat keadaan Romlah mendekat dan memeluk Romlah.
Dalam pelukan Oji, Romlah semakin terisak. Air matanya
semakin deras. Semua Romlah tumpahkan di bahu sang adik.
“Gue takut kehilangan
Raihan, Ji. Gue gak tau apa yang harus gue lakuin.”
“Mpok, mending lo
pikirin lagi deh semua yang lo bilang ke Bang Raihan. Lo gak boleh gegabah,
Mpok. Klo gak lo bakal nyesel seumur hidup lo.”
Tangis Romlah semakin kuat. Namun tiba-tiba, Romlah
melepaskan pelukannya pada Oji. Tangannya beralih pada perutnya sendiri. Wajah
Romlah berubah meringis menahan sakit.
“Ji, perut gue.” Oji
panic melihat perubahan pada Romlah.
“Mpok, lo kenapa? Bang
Raihan… Bang Raihan…” Oji teriak memanggil Raihan.
“Udah, Ji. Gue gak papa
kok. Palingan karena dari kemaren lupa makan.” Romlah terus memegangi perutnya
Oji
yang tidak peduli dengan perkataan Romlah terus memanggil Raihan. Raihan yang
terkejut mendengar panggilan Oji langsung berlari menuju kamar diikuti Nafisa.
“Kenapa, Ji?”
“Mpok, bang.”
“Sayang, kamu kenapa?”
Raihan mendekati Romlah.
“Perut aku sakit.”
Romlah masih menangis sambil memegangi perutnya.
“Mpok itu kakinya
kenapa?” Nafisa yang berdiri tepat dibelakang Raihan memandang ke lantai.
Seketika semua orang memandang kaki Romlah. Terlihat darah segar mengalir di
kaki Romlah
“Astafirullah, sayang
kamu kenapa?” Raihan memeluk Romlah dengan panic.
“Oji, tolong siapkan
mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.” Romlah terlihat semakin lemas. Tak
terdengar lagi suara tangisnya. Hanya sesekali dia mengerang kecil karena
kesakitan.
Dalam keadaan panic, Oji berusaha mempercepat laju mobil.
Romlah yang duduk dibelakang bersama Raihan berkali-kali menggumam kesakitan.
“Bang, perut aku sakit
banget.”
“Iya, sayang. Kamu
sabarnya, sebentar lagi kita sampai.” Raihan terus mencoba menenangkan Romlah
yang berada dalam dekapannya.
“Oji, bisa lebih
kenceng lagi!” Ucapan Raihan terdengar sangat panic.
“Iya, bang. Sabar ya,
Mpok. Jalanannya macet.”
“Jakarta!” Raihan
mengumpat sendiri
***
Setibanya di rumah sakit, Romlah langsung dibawa ke Ruang
Unit Gawat Darurat. Raihan, Oji dan Nafisa yang menunggu di depan ruangan cemas
sambil terus berdoa. Raihan tak henti-hentinya bolak-balik di depan pintu
sambil sesekali mengintip ke dalam. Hampir setengah jam berlalu tapi tak ada
dokter ataupun suster yang keluar untuk memberitahukan keadaan Romlah.
Tak lama kemudian, suster keluar ruangan untuk
memberitahu bahwa dokter ingin bertemu dengan Raihan. Raihan bergegas menemui
dokter sedangkan Oji dan Nafisa mengurus Romlah yang pindah ke ruang rawat
inap.
“Selamat siang, dok.”
Raihan dengan sopan masuk dan duduk tepat di depan sang dokter.
“Baik, pak. Saya ingin
membicarakan keadaan Ibu Romlah.”
“Ada apa dengan istri
saya, dok?”
Setelah mendengarkan semua perkataan dokter, Raihan
langsung menuju apotik untuk menebus obat yang harus langsung dikonsumsi Romlah.
Raihan berjalan sambil terus bernyanyi hingga tak menyadari ada yang memanggil.
“Papaaa….” Irene dan
ZeeZee memanggil Raihan dengan serentak namun yang dipanggil tak kunjung
menoleh.
“Papa..” ZeeZee memukul
bahu Raihan yang kini ada di depannya.
“Yaampun ZeeZee, Irene,
ngagetin aja.”
“Lagian papa
dipanggilin daritadi gak denger. Mimi gimana pap?” ZeeZee memandang serius
Raihan.
“Sekarang udah di ruang
inap. Yuk sekalian kita liat!”
“Emang papa darimana?”
“Papa abis nebus obat,
Ren.”
Sesampainya di ruang inap Romlah, Romlah yang sudah sadar
sedang berbincang dengan Oji dan Nafisa. Melihat kedatangan Raihan, ZeeZee dan
Irene, mendadak Romlah menangis.
“Sini, nak. Mimi mau
dipeluk sama Irene dan ZeeZee.” ZeeZee dan Irene yang bingung melangkah memeluk
Romlah.
“Mimi kenapa? Kok mimi
nangis. Emangnya mimi sakit apa?”
“Iya. Irene liat tadi
pagi mimi baik-baik aja. Mimi kenapa?
“Maafin mimi ya,
sayang. Mimi harus bilang ini semua sama kalian.”
“Romlah, saya tidak mau
kamu membahas masalah kita sekarang.” Raihan memotong pembicaraan Romlah.
“Mimi sama papa…”
“Romlah, apa kamu tidak
ingin mendengar perkataan dokter pada saya?”
“Bang, aku itu gakpapa.
Paling maag aku kambuh karena dari kemaren belum makan. Ini udah gakpapa kok.
Aku mau sekarang juga semua diselesaiin.” Romlah mengalihkan pandangannya dari
Raihan menuju ZeeZee dan Irene.
“Papa dan mimi sudah
memutuskan untuk berpisah.” Bagai terkena petir di siang bolong, ZeeZee dan
Irene mendadak kaku mendengar perkataan Romlah.
“Kenapa mi, pap?” Tanpa
terasa air mata Irene mengalir sedangkan ZeeZee mencoba menahan namun ternyata
tak mampu. Keduannya menangis.
“Mimi ngijinin kalian
untuk memilih mau ikut sama siapa, termasuk kamu ZeeZee. Klo kamu mau tinggal
sama papa, mimi akan bilang ke orang tua kamu. Mimi jamin mereka tidak akan
keberatan.” Romlah berkata seakan tidak peduli pada keadaannya begitu juga
keadaan orang-orang disekitarnya.
“Tapi untuk hak asuh
anak kita, saya pastikan akan jatuh ke tangan saya.” Raihan memandang kecewa
pada Romlah. Betapa dia menyadari keinginan berpisah dari Romlah sudah kuat.
Raihan berpikir bahwa kehamilan Romlah dan terbukannya kasus parfum akan
melunakan hati Romlah.
Romlah bingung dengan perkataan Raihan. Romlah takut
kalau Raihan juga akan mengambil hak asuh Romi.
“Enggak, bang. Romi
harus tetap tinggal sama aku.”
“Saya tidak sedang
membicarakan Romi. Saya juga tidak sedang membicarakan ZeeZee ataupun Irene.
Saya sedang membicarakan anak kita.”
“Maksud kamu apa sih?”
Romlah semakin tidak paham arah pembicaraan Raihan.
“Kamu itu dari dulu gak
pernah berubah. Selalu terburu-buru, selalu menuruti emosi kamu walau lebih
sering kamu akhirnya menyesal tapi kamu gak pernah belajar. Kamu tau tadi pagi
kamu mengalami apa? Kamu hampir keguguran, Romlah.”
***
“Kandungan istri Anda
sangat lemah, jadi sepertinya Bu Romlah harus bedrest sampai usai kehamilannya lebih tua sehingga kandungannya
sudah lebih kuat. Mungkin di usia 4 bulan.” Raihan bingung mendengar perkataan
dokter.
“Maaf, dok, saya tidak
mengerti. Kandungan? Kehamilan?”
“Jadi bapak belum
tahu?” Raihan hanya menggeleng menjawab pertanyaan dokter.
“Baiklah. Selamat ya,
pak. Istri Anda sekarang sedang mengandung. Usia kehamilannya berjalan 6
minggu.” Raihan masih tidak percaya dengan yang didengarnya. Namun dia juga
yakin tak mungkin seorang dokter berbohong akan hal ini.
Dengan perasaan senang, Raihan mendengarkan semua anjuran
dokter yang harus dipatuhi Romlah selama masa kehamilannya. Dia mengingat dan
serius mendengar setiap perkataan agar tak salah termasuk menanyakan hubungan
Romlah mencium bau parfum wanita didirinya dengan kehamilan Romlah. Ternyata
dalam ilmu kedokteran itu semua saling bersangkutan.
***
Raihan
memandang Romlah sejenak. Romlah memikirkan setiap kata yang diucapkan Raihan,
namun entah kenapa dia tak juga mengerti.
“Jadi….” ZeeZee yang
terlebih dahulu menyadari berteriak sekencangnya.
“Kak ZeeZee ngagetin.”
Irene yang berdiri disamping ZeeZee menjadi orang yang paling menikmati
teriakan ZeeZee.
“Iihh kalian semua
lola. Pake Pentium berapa sih?” ZeeZee hanya tersenyum-senyum jail ke Raihan.
“Yaampun, Mpok..” Oji
dan Nafisa yang baru menyadari ikut berteriak.
“Trus masalah parfum
itu, bang?” Nafisa bertanya polos. Walau tidak tepat waktunya, namun pertanyaan
Nafisa membuka jalan untuk semua.
“Kata dokter itu bawaan
kehamilan aja, nanti juga hilang sendiri. Sama kayak ibu-ibu hamil yang gak
suka sama bau suaminya. Nah ini malah cium bau orang lain ditubuh suaminya.”
Raihan melirik Romlah yang mulai menyadari arah pembicaraan mereka.
“Jadi mimi hamil?”
Irene yang menyadari paling lama berteriak paling kencang
“Bang..” Romlah
langsung menarik tangan Raihan yang daritadi berdiri disebelahnya. Tanpa
sepatah katapun mereka berpelukan seakan memahami perasaan masing-masing.
Oji, Nafisa, ZeeZee dan Irene bergantian memberikan
selamat dan doa untuk Raihan, Romlah dan calon keluarga mereka. Semua berakhir
bahagia hari ini. Tantangan apalagi yang akan dihadapi Raihan selama Romlah
hamil? Stay tune.. *kecupbasah